TATA BAHASA TAGMEMIK: HIRARKI GRAMATIKAL, FONOLOGIS, DAN REFERENSIAL


TATA BAHASA TAGMEMIK:

HIRARKI GRAMATIKAL, FONOLOGIS, DAN REFERENSIAL

I. PENDAHULUAN

Minat manusia terhadap bahasa bukanlah sesuatu yang baru. Dari catatan sejarah ada bukti bahwa sejak jaman purba manusia sudah tertarik untuk menyelidiki seluk-beluk bahasa. Penyelidikan tentang bahasa oleh sekelompok manusia sebagai bangsa itu ada yang dicatat secara rapi, ada yang tidak dicatat, diceritakan dari mulut ke mulut, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Wahab, 1990: 1)

Sebagai hasil Renaissance, Eropa berkembang dengan pesat dalam segala bidang. Penjelajahan daerah-daerah baru juga dilakukan. Dalam penjelajahan tersebut, prosedur yang biasanya dijalankan adalah pengiriman pasukan perang untuk membuka jalan ke arah pendudukan wilayah, kemudian setelah daerah baru itu bisa dikuasai, datanglah para pedagang untuk memanfaatkan sektor ekonomi, dan kalau segala sesuatu telah aman, datanglah para misionaris untuk menyebarkan agama Nasrani (Wahab, 1990:

Dalam menyebarkan ajaran agama, para misionaris ini diwajibkan memiliki kemampuan atau menguasai bahasa penduduk asli. Pentingnya mempelajari bahasa penduduk asli itu tidak hanya untuk penyebaran agama Nasrani, melainkan juga dalam hal administrasi pemerintahan negara yang terjajah (Wahab, 1990: 9).

Namun, analisis yang mereka lakukan terhadap bahasa penduduk asli itu berdasarkan acuan Gramatika Tradisional dari bahasa Yunani dan Latin. Ternyata mereka kemudian mengalami kesulitan-kesulitan karena bahasa-bahasa yang mereka jumpai itu tidak seluruhnya dapat dianalisa dengan menggunakan Gramatika Tradisional. Mereka kemudian mencari acuan-acuan baru, dan lahirlah berbagai aliran dalam linguistik (wahab, 1990: 13).

Salah satu aliran yang terkenal telah muncul di Amerika. Aliran baru itu disebut Tagmemics. Aliran ini diperkenalkan oleh Kenneth Lee Pike yang juga aktif dalam kegiatan-kegiatan Summer Institute of Linguistics (SIL) yang dikaitkan dengan Wycliff Bible Translators, yaitu suatu badan penerjemah Injil ke dalam berbagai macam bahasa yang dipakai oleh masyarakat yang mendiami wilayah di mana mereka bertugas.

Makalah ini bertujuan untuk membahas bagaimana pandangan Teori Tagmemik terhadap:

  • · Hirarki fonologis
  • · Hirarki gramatikal
  • · Hirarki referensial

dalam suatu bahasa.

II. TATA BAHASA TAGMEMIK: HIRARKI FONOLOGIS, GRAMATIKAL DAN REFERENSIAL

Pelopor teori Tagmemik adalah Prof. Kenneth Lee Pike seorang pendeta Kristen Protestan dan seorang ahli bahasa ulung yang ikut mendirikan dan mengembangkan Summer Institute of Linguistics, suatu organisasi yang bergerak di bidang penerjemahan Injil. Sebagai seorang pendeta Kristen, Pike membaktikan hidupnya untuk kegiatan pengajaran dan penyebaran Injil serta penerjemahan Injil ke dalam bahasa-bahasa yang belum pernah mengenal kitab ini. Sebagai seorang ilmuwan, Pike membaktikan dirinya di bidang penelitian dan pengembangan ilmu bahasa (Lembaga Bahasa Universitas Atma Jaya, 1987:71). Teori Tagmemik berkembang dari sebuah teori yang lebih komprehensif tentang bahasa dalam ruang lingkup perilaku manusia yang dikembangkan Pike antara tahun 1954-1960.

Teori Tagmemik melakukan studi kebahasaan dengan memandang pentingnya slot-slot yang fungsional dan menggabungkan elemen yang bisa menduduki slot itu ke dalam unit-unit sintaksis yang lebih luas (Wahab, 1990: 13).

Istilah tagmem merupakan suatu kesatuan dasar bahasa yang terdiri dari jalur fungsional dan suatu daftar butir-butir yang saling dapat ditukarkan yang dapat mengisi lajur itu. Tagmem adalah suatu kesatuan, sejajar dengan fonem dan morfem dalam tri-hirarki ketatabahasaan fonologi, leksikon, dan tata bahasa. Ketiga kesatuan dasar itu diperlihatkan sebagai struktur tritunggal dalam karyanya yang berjudul “Language as Particle, Wave, and Field” pada tahun 1959 (Tarigan, 1989: 15-16).

Penamaan Teori Tagmen ini berangkat dari konsep tagmen. Tagmen adalah bagian dari konstruksi gramatikal dengan empat macam kelengkapan spesifikasi ciri, yakni: slot, peran, dan kohesi (Soeparno, 2002:58). Atau juga tagmen adalah Tagmem adalah tempat dalam struktur (sintaksis dan morfologis) bersama dengan kelas formal elemen-elemen yang menduduki tempat tersebut (yang sering disebut dengan istilah slot dengan pengisinya), “Korelasi antara sebuah fungsi gramatikal atau slot dan sebuah kelas dari unsur-unsur yang bisa saling menggantikan yang terdapat dalam slot tersebut. Tagmem mempersatukan konsep-konsep tradisional seperti subyek, predikat, obyek, komplemen, lokatif, temporal, penerima, pelaku, dengan konsep kelas seperti nomina, verba, pronomina, adjektifa, adverbia, dan sebagainya.

Pada garis besarnya, teori tagmemik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  • · Slot

Slot adalah suatu ciri tagmen yang merupakan tempat kosong di dalam struktur yang harus diisi oleh fungsi tagmen. Di dalam tataran klausa fungsi tagmen tersebut berupa subjek, predikat, objek, dan adjung. Pada tataran lain umumnya fungsi tagmen berupa inti dan luar inti. Pada teori tradisional dan struktural, slot, kelas, peran, dan kohesi.

  • · Kelas

Kelas adalah suatu ciri tagmen yang merupakan wujud nyata dari slot. Wujud nyata slot itu adalah berupa satuan-satuan lingual seperti morfem, kata, frasa, klausa, alinea, monolog, dialog, dan wacana. Kelas dapat dipecah lagi menjadi kelas yang lebih kecil (subkelas). Kelas frasa dapat dipecah menjadi frasa benda dan frasa kerja. Kelas klausa dapat dipecah menjadi klausa transitif, klausa intransitif, klausa ekauatif, dan sebagainya.

  • · Peran (Role)

Peran adalah ciri atau benda penanda yang merupakan pembawa fungsi tagmem. Memang agak susah untuk membedakan fungsi dan peran. Pelaku dan penderita adalah nama peran. Pelaku dan penderita tersebut dapat menjadi pembawa fungsi subjek. Dengan demikian ada subjek dengan peran penderita.

  • · Kohesi

Kohesi adalah ciri atau penanda tagmem yang merupakan pengontrol hubungan antartagmem. Pengontrol hubungan yang hampir terdapat pada semua bahasa adalah kaidah ktransitifan pada kluasa yang berlaku untuk klausa transitif, klausa instransitif dan klasa ekuatif (Soeparno, 2002: 60-66).

Di dalam rumus keempat ciri atau penanda itu ditempatkan pada sudut penempatan garis. Sudut kiri atas ditempati oleh slot, sudut kanan ditempati oleh kelas, sudut kiri bawah ditempati oleh peran, dan sudut kanan bawah ditempati oleh kohesi.

Bahasa memiliki hierarki. Ada struktur yang lebih besar daripada kalimat, adapula yang lebih kecil dari kalimat. Namun, meskipun bahasa mengenal hierarki, hubungan di antara unsur-unsur bahasa bukanlah hubungan yang terlepas, melainkan menyeluruh. Unsur-unsur tersebut memang dapat diteliti secara terpisah, namun bukan berarti masing-masing unsur tidak berkaitan. Sebagai contoh, pembahasan mengenai sintaksis akan menemukan kendala tanpa menyertakan aspek morfologis. Unsur-unsur tersebut merupakan poin yang menguntungkan bagi peneliti untuk mencapai keseluruhan yang hendak dicapai.

Menurut teori ini ada tiga macam hierarki linguistik yaitu: 1) hierarki referensial, 2) hierarki fonologis, 3) hierarki gramatikal. Hierarki fonologis adalah tataran dalam kawasan bunyi bahasa. Hierarki gramatikal adalah tataran dalam kawasan tata bahasa. Morfem dan sintaksis tercakup dalam tataran ini, namun menurut teori ini tidak ada batas lagi antara morfologi dan sintaksis (Soeparno, 2002: 62).

Pemerian bahasa mempunyai tiga tuntutan utama; pemerian bahasa harus menggarap bunyi-bunyi, bentuk-bentuk, dan aturan bentuk-bentuk dalam kalimat. Masalah pemerian bahasa adalah memisahkan kesatuan-kesatuan bunyi, yang digunakan untuk membentuk kesatuan-kesatuan arti referensi, yang kemudian disesuaikan kepada rencana-rencana bahasa (Tarigan, 1989: 192)

Model Tagmemik menggarap bunyi, bentuk, dan hirarki ketatabahasaan fonologi, leksikon, dan tata bahasa. Ketiga hirarki ini merupakan sistem-sistem yang bersifat semi-otonom tetapi saling mengisi (Tarigan, 1989: 192)

Berikut ini pembahasan tentang hirarki tiga lapis yang meliputi:

  • · Fonologis
  • · Gramatikal
  • · Referensial

A. HIRARKI FONOLOGIS

Hirarki fonologis memiliki fonem sebagai kesatuan terkecil, dan suku kata, kelompok tekanan, dan sebagainya, sebagai kesatuan-kesatuan yang lebih tinggi dalam hirarki itu (Tarigan, 1989: 192)

Ciri-ciri hirarki fonoligis yaitu bunyi berbaur bersama, masuk dalam struktur medan, bisa mengandung kontras nada yang relevan, dapat digambarkan dalam bagan komponen tali satuan, tempatnya dalam kata mempengaruhi pelafalan, dan jumlah dan susunannya mempengaruhi struktur silabel.

Dalam bidang fonologi, pendekatan tagmemic itu dikenal sebagai fonemik (phonemics). Fonemik memberikan teknik untuk memroses data fonetik yang masih kasar untuk memperoleh kesatuan bunyi yang signifikan dan kemudian melambangkannya ke dalam suatu alfabet yang mudah dibaca oleh penuturnya (Wahab, 1990: 13).

Ada perbedaan besar dalam fungsi tataran potongan yang satu dengan yang lainnya dalam hirarki fonologis; ada kebebasan fonologis yang cenderung dihubungkan dengan silabel dan dengan kelompok tekanan dibandingkan dengan bunyi itu sendiri. Sebagai contoh, “within the groove”: jatuhnya pada titinada (pitch) pada groove mengkhususkan kata itu untuk menarik perhatian dan dapat diikuti naiknya titinada pada akhir silabel yang sama yang sama membuat pendengar tahu bahwa masih ada yang akan dikatakan. Titinada memiliki makna; orang dapat menentukan kapan pembicara hampir selesai berbicara berdasarkan kualitas suaranya.

Tarigan (1989: 194) mengatakan bahwa komponen pertama pemerian suatu bahasa menggarap bunyi-bunyi yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk bahasa. Bunyi-bunyi yang dikelompokkan sebagai kesatuan-kesatuan berdasarkan ciri-ciri pengenalan kontrastif dan bunyi-bunyi tersebut merupakan bagian suatu sistem.

Dalam komponen fonologis sesuatu pemerian bahasa, kita mempertimbangkan: (1) ragam manifestasi, (2) ragam ciri, dan (3) ragam distribusi kesatuan-kesatuan bunyi bahasa atau fonem-fonem (Tarigan, 1989: 194)

Ragam manifestasi merupakan suatu pandangan dinamis bahasa, lebih dekat pada realitas fisik, dan menyebabkan ciri-ciri saling tindih sehingga samara/kabur. Dalam fonologi, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerakan yang berkesinambungan, dengan batas-batas bunyi-bunyi individual, sebagian besar tidak pasti (Tarigan, 1989: 196). Pike (1992, 78) menyatakan bahwa bunyi sebagai partikel dianggap sebagai kumpulan huruf-huruf dalam kata yang dipisahkan oleh spasi. Gabungan huruf-huruf tersebut lebih kelihatan secara ortografis. Akan tetapi dalam pelafalan, bunyi harus dipandang sebagai gelombang yang bertumpang tindih dan berbaur satu dengan yang lainnya , dan pembauran dan tumpang tindih itu cukup banyak (hlm. 80)

Tarigan menambahkan bahwa ragam manifestasi suatu kesatuan emik mempunyai ciri-ciri yang menyerupai ombak (baca: gelombang). Suatu kata berpola KVK tidaklah diucapkan sebagai suatu urutan bunyi-bunyi yang terpisah-pisah, tetapi suatu gerakan yang menyerupai ombak (baca: gelombang) yang berkesinambungan di tempat bunyi-bunyi saling tindih. Kesatuan-kesatuan itu terlihat sebagai puncak-puncak bunyi, tetapi batas-batas bunyi itu tidak jelas. Misalnya, sebuah kata seperti /pin/ dapat digambarkan dengan ombak:

Bunyi /p/ awal adalah aspirated dan berada dalam posisi maju karena bunyi /i/ berikutnya; selanjutnya /i/ sebagian prenasalized sebagai pengaruh /n/ berikutnya. Saling tindih bunyi-bunyi itu tidak didemonstrasikan di laboratorium fonetik dengan membandingkan kualitas-kualitas vocal dan konsonan dalam urutan-urutan yang berbeda. Dalam penentuan bunyi-bunyi sebagai kesatuan-kesatuan itu, kita hanya melihat puncak-puncak ombak (gelombang) itu dan mengabaikan batas-batas bunyi yang tidak jelas yang saling tindih itu (Tarigan, 1989: 196)

Hirarki fonologis yang lebih terperinci adalah sebagai berikut (Pike, 1992: 78-79):

  • · Fon (varian tertentu sebuah fonem, dalam lingkungan tertentu), misalnya /n/; dengan luncuran awal pramargin menuju bunyi itu diikuti puncak nukleusnya (ketika penutupan saluran mulut selesai dilakukan oleh ujung lidah), diikuti oleh luncuran akhir postmargin (sewaktu lidah melepaskan penutupan itu)
  • · Silable (variasi etik dari silabel emik); dengan luncuran awal pramargin menuju silable itu yang terdiri dari sebuah konsonan (terdapat pada mayoritas bahasa) atau lebih (seperti str- dalam strike); dengan elemen nucleus yang terdiri dari sekurang-kurangnya sebuah vocal atau sebuah konsonan silabis dan kadang-kadang dua vocal atau lebih, atau sebuah vocal dan sebuah konsonan yang bergabung erat dengan vocal seperti h atau hambat glottal (penutupan pita suara), dan dengan konsonan postmargon atau kelompok konsonan postmargin.
  • · Kelompok tekanan: sebagai gelombang, dengan want sebagai nucleus dalam gelombang kelompok tekanan I don’t want to, yang dilafalkan secara cepat, dengan membaurkan kata-kata.
  • · Paragraph fonologis: bahan tema nucleus kadang-kadang bisa dilafalkan dengan lamban, jelas, dank eras, serta dengan titinada yang relative tinggi; sedangkan elemen marginal seperti bisikan, dapat lebih cepat, lembut, rendah nadanya, dan mungkin kurang jelas atau bahkan dipisahkan oleh jeda.
  • · Wacana fonologis: bisa merupakan monolog yang ditandai seperti paragraph di atas, tetapi dengan ciri-ciri tersebar dalam satuan yang besar. Selain itu, bisa menjadi klimaks wacana, lalu mengecil secara fonologis, misalnya jika penutur memberi petunjuk bahwa wacana itu akan berakhir, tetapi berbicara terlalu lama sehingga pendengarnya menyindirnya).
  • · Ujaran dan respons: pada batas tertentu, kualitas suara dan kecepatan mungkin ditentukan oleh penutur yang memulai pembicaraan (yang bertindak dalam peran fonologis nucleus), misalnya pertanyaan yang sifatnya mendesak dan terburu-buru dapat memancing jawaban (margin) yang lebih cepat dan tegang daripada jawaban yang mungkin diterima dari pertanyaan yang disampaikan dengan tenang.

Selain kita memandang bunyi-bunyi sebagai gelombang yang tumpang tindih dan berbaur satu sama lain, kita juga memandang bunyi-bunyi itu sebagai satuan-satuan dalam system kontrastif atau medan, sehingga ciri-ciri nada dapat dianggap sebagai kontras-kontras yang menghasilkan pilihan-pilihan untuk melewati salah satu dari beberapa gerbang (Pike, 1992: 80-81). Misalnya, dalam bahasa Inggris ada pilihan titinada atau tingkat relatif kontras intonasi yang ikut menentukan struktur pada tataran kelompok tekanan dan kontur titinada yang tersebar pada kata, frase, klausa, dan satuan yang lebih bersar, serta ikut menentukan sikap penutur, seperti contoh berikut ini:

His bra’ in is addled:Jika diucapkan perlahan-lahan dengan titinada naik pada brain, pendengar menunggu untuk mengetahui apa yang ingin saya katakan tentang otak itu.

Contoh lainnya adalah kontur titinada yang mengakhiri frase bahasa Inggris memberitahu pendenganrnya bahwa penutur belum akan mengakhiri pembicarannya; mungkin ia akan menambah frase lain atau mungkin berharap bahwa pendengarnya akan menjawab, atau mungkin berhenti sebelum meneruskan.

B. HIRARKI GRAMATIKAL

Hirarki gramatikal atau ketatabahasaan memiliki tagmem sebagai kesatuan terkecil, dan konstruksi-konstruksi tagmemik yang beraneka ragam sebagai kesatuan-kesatuan yang lebih tinggi dalam hirarki itu (Tarigan, 1989: 192)

Menurut Pike (1992, 61-62), bahasa kita sangat berguna untuk mengemas kembali materi menjadi beberapa potongan yang kaya akan informasi dan jumlah potongan yang lebih besar merupakan jumlah potongan- bagian kata, frase, dan klausa.

Selanjutnya Pike menjelaskan bahwa dalam pandangan kita mengenai gramatika, “tataran” dalam hierarki lebih dari sekedar tingkat pencakupan potongan di dalam potongan yang semakin besar. Setiap tipe utama tataran tersebut mempunyai semacam fungsi dalam perilaku. Susunan strukturalnya, yaitu bentuknya, sekaligus memiliki suatu dampak yang umum pada pendengarnya atau yang kita sebut sebagai makna tataran tersebut.

Fonologis dan gramatika merupakan hirarki-hirarki yang berbeda karena memiliki batas yang tidak sama, misalnya I’m– secara gramatikal: batas kata terdapat di antara I dan am; secara fonologis: tidak ada batas silabel yang terdapat di dalam I’m.

Tataran dalam hirarki gramatikal lebih dari sekedar pencakupan potongan di dalam potongan yang lebih besar; setiap tipe utama tataran memiliki fungsi dalam perilaku; susunan strukturalnya merupakan makna dari tataran itu yang membawa dampak pada pendengarnya, misalnya:

  • · skunk

– struktur:bentuk ejaan & pelafalan

– makna: binatang asli Amerika, semacam musang, yang mengeluarkan bau yang sangat busuk.

  • · “Kucing itu berekor panjang” (secara formal menyatakan keadaan itu benar; diucapkan setelah menyapa seseorang), sedangkan “Kucing yang berekor panjang itu” (sekedar menamakan ciri dan mengacu pada kucing itu dalam penyataan yang disengaja; tidak diucapkan setelah menyapa sesorang)

Menurut Pike (1992: 63-65) ada beberapa macam tataran:

  • · Tataran proposisi

Proposisi adalah pernyataan yang bermakna dengan macam-macam modifikasi menurut konteks (yang mengikuti atau menyimpang dari norma), dan maknanya dalam tataran nama disebut term.

Untuk mencapai kesimpulan ini, kita jelaskan dalam hubungan dengan menggunakan tataran yang lebih tinggi lagi, yaitu tataran percakapan (baca: interaksi sosial).

  • · Tataran interaksi sosial

Tataran ini mencakup fungsi makna, yaitu dialog. Pengambilan maknanya berasal dari latar, maksud, dan reaksi sosial. Pada tataran teratas, pasangan interaksi sosial dapat mencakup dialog antara dua orang atau percakapan dengan banyak orang.

  • · Tataran perkembangan tema

Contoh tataran perkembangan tema ini adalah ceramah atau paragraf yang mana mengambil sebuah topik dalam bentuk proposisi dan membuat komentar tentang topik itu.

Proposisi tataran yang lebih rendah bisa dalam bentuk klausa dan kalimat, sedangkan term bisa dalam bentuk kata atau frase. Morfem dan gugus morfem dalam kata berada pada tataran terbawah dalam struktur gramatika.

Sementara itu, keempat ciri-ciri tagmem berubah ubah secara bebas, tetapi juga sekaligus saling bergantung dengan komponen dan definisi yang jalin-menjalin. Berikut ini adalah pembahasan masing-masing ciri tersebut:

  • · Gatra struktural:

Struktur gramatikal hierarkis ditunjukkan oleh bagian-bagian yang membentuk kesatuan lain yang lebih besar atau umum. Gatra-gatra ini sering berbeda dalam hubungan nucleus versus margin dengan struktur itu secara keseluruhan. Hubungan-hubungan ini dapat muncul pada semua tataran dalam hirarki. Misalnya:

– kata: nyanyian = nyanyi (nukleus;peran unsur) dan sufiks marginal–an,

– kalimat: Jika mungkin, saya pasti akan menemuinya = klausa jika yang marginal (dengan peran persyaratan) mempunyai klausa

bebas nukleus yang mengikutinya dengan peran pernyataan)

– Paragraf: “Lebih baik kita menghindari problem yang pelik itu. Kita akan berada pada posisi yang sangat sulit. Kenapa kita harumenerjangnya?= Lebih baik … merupakan nukleus, Kita akan … adalah marginal, diiikuti oleh penjelasan lebih lanjut dalm bentuk kalimat pertanyaan retoris.

– Dialog: A: Mengapa kita tidak menemui

beliau saja?

B: Karena beliau sedang ke luar

negeri.

(Ujaran yang pertama adalah nukleus, diikuti

oleh margin dialog)

  • · Kelas substitusi:

Di setiap gatra dalam struktur gramatikal, salah satu dari unsur leksikal dapat diharapkan bisa digantikan dengan yang lain tanpa mempengaruhi proporsi antara potongan-potongan dalam satuan itu.

Contoh:

The man gave the X to Y.” dapat digantikan oleh:

– A boy whom I had just met gave a present to me.

(“A boy whon I had just met “ = anggota frase nomina kelas substitusi dan menduduki posisi subjek.

  • · Peran:

Kelas yang sama dapat memiliki peran yang sangat berbeda dalam kalimat yang satu dengan kalimat lain.

contoh:

– Saya melihat binatang itu.

– Binatang itu melihat saya

(Peran binatang itu dalam perbuatan pada kalimat pertama berbeda dengan perannya dalam kalimat kedua).

  • · Kerangka dan control (kohesi):

Harus ada sesuatu yang memautkan kata-kata secara bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang koheren. Bagian-bagian struktur pembicaraan harus mempunyai kesesuaian sistemis internal yang ditandai oleh butir-butir informasi tertentu (Pike, 1992: 65-70).

contoh:

– I was spending a lazy afternoon on the sofa.

– My wife and I were sitting in economy

during a long flight.

(“was” dan “were” dipilih berdasarkan perbedaan jumlah).

C. HIRARKI REFERENSIAL

Menurut Pike (1992: 85-93) beberapa unsur, baik secara langsung dalam kaitan dengan hirarki referensial maupun secara tidak langsung dalam kaitan dengan makna atau aktivitas perilaku yang berhubungan dengan hierarki tersebut, mencakup konsep-wicara ditetapkan untuk waktu dan situasi tertentu melalui paraphrase (kemampuan mengatakan hal yang sama dengan cara yang berbeda yang dapat disetujui oleh pendengar dan penutur sebagai konsep yang sama untuk tujuan sementara bersama.

Contoh:

Seorang ibu berkata kepada tetangga dekatnya, “Tuti baru saja pulang.” atau “Anakku sudah kembali” (ujaran-ujaran itu belum tentu dapat difahami oleh orang yang tidak dikenal mereka).

Cara-cara yang berlainan untuk mengatakan hal yang sama ini mencakup kemiripan yang relevan bagi isi pembicaraan, tetapi sering berbeda dalam hal fokus yang dipengaruhi oleh bentuk gramatikal, atau oleh penekanan fonologis. Masing-masing perbedaan ini bermakna tetapi dikaitkan dengan hirarki yang berbeda.

Dalam hirarki referensial, penceritaan sebuah kejadian lebih bebas daripada penyebutan nama sesuatu. Kejadian yang digambarkan dianggap lebih penting daripada unsur-unsur yang terlibat di dalam kejadian itu dan yang disebutkan dalam hubungan dengan kejadian itu.

Contoh:

Socrates minum sampai mati.

Kemudian, Socrates (orang yang berada di dalam kejadian di atas) dan Socrates-Socrates lainnya memiliki kesatuan referensial yang berbeda, walaupun secara leksikal nama itu sama dan dalam anggota kelas gramatikal yang sama (nomina persona).

Suatu kejadian bisa merupakan bagian dari kejadian yang lebih besar, yang selanjutnya menjadi bagian dari kejadian yang lebih besar lagi. Atau, dua kejadian yang terpisah dapat muncul sekaligus kemudian berbaur menjadi sebuah kejadian.

contoh:

Anak laki-laki (kejadian yang satu) bertemu dengan anak perempuan (kejadian yang lain), lalu saling jatuh cinta, menikah, dan bahagia selama-lamanya.

Pada tataran bawah dari kedua tataran ini, orang mempunyai anggota-anggota pemeran sebuah drama atau suatu kejadian. Peran dapat menjadi rumit. Suatu kejadian mungkin memiliki tujuan yang mengarah pada tujuan yang lebih besar; atau motif-motif bisa bermacam-macam (dual). Dan peran seseorang bisa tampak berbeda dari sudut pandang pengamat yang berbeda; masing-masing pengamat mempunyai tafsiran sendiri-sendiri mengenai tujuan orang lain.

Dalam hirarki referensial, kerangka acuan-kerangka acuan yang implisit jalin-menjalin antara urutan waktu, susunan parsial, hubungan fisik, koherensi logis, sistem kepercayaan tentang realitas, dan sebagainya; jika kerangka acuan tidak sama atau tidak koheren, maka dapat menimbulkan salah pengertian dan kesalahan.

III. PENUTUP

Secara umum, tata bahasa tagmemik ini sangat berguna untuk hal-hal berikut:

  • · Menyelidiki sesuatu yang baru “diketahui” dari permukaannya dan memperdalam pemahaman seseorang tentang konteks situasionalnya, bagian-bagian komponennya, ukuran rata-rata, sifat alamiah, dan kualitas dari dampak yang dimiliki sesuatu tsb. terhadap sekitarnya.
  • · Menemukan sifat alamiah, kualitas, bentuk, dampak, dst. dari sesuatu yang tak diketahui tersebut sebagaimana ia dikondisikan oleh lingkungannya.
  • · Mengklasifikasikan/menaksonomikan sebuah fenomena, mengenali bentuknya, bagian-bagian komponennya, konteks berdasar situasinya, dll.
  • · Mendukung sifat alami, kualitas, bentuk, dampak, dst. yang dimiliki sebuah fenomena sebagaimana telah diidentifikasikan atau digambarkan oleh peneliti/pengamat lain.
  • · Menyediakan suatu tatanan yang stabil bagi prinsip, konsep, istilah, heuristik, sistem tanda, untuk menyelidiki, menggambarkan, dan mengevaluasi bahasa dan fenomena tingkah laku secara menyeluruh menurut poin-poin penilaian yang baik dan mendetail.

Sedangkan secara khusus, berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam hirarki fonologis, untuk mengerti sinyal yang dikirimkan penutur kepada pendengar, pendengar harus menanggapi keseluruhan struktur medan dari dimensi pola-pola akustik yang berpotongan yang mencerminkan gerakan alat artikulatoris dalam pembentukan tidak saja konsonan dan vocal tapi juga titinada, kualitas suara, ritme, dan jeda dalam kaitan dengan tataran hierarki.

2. Dalam hirarki referensial, kerangka acuan-kerangka acuan yang implisit jalin-menjalin antara urutan waktu, susunan parsial, hubungan fisik, koherensi logis, sistem kepercayaan tentang realitas, dan sebagainya; jika kerangka acuan tidak sama atau tidak koheren, maka dapat menimbulkan salah pengertian dan kesalahan.

3. Dalam hirarki gramatikal, pola-pola ketatabahasaan adalah pola-pola fungsional. Ke dalam pola-pola inilah kesatuan-kesatuan bahasa yang bermakna diprogramkan dan dicanangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Pike, Kenneth L. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. (Terjemahan oleh Kentjanawati Gunawan). Jakarta: Summer Institute of Linguistics-Indonesia.

Robins, R. H. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Bahasa Tagmemik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah MAda University Press.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.

ALAMAT ASLI POSTINGAN INI: http://dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/26/tagmemik/

One thought on “TATA BAHASA TAGMEMIK: HIRARKI GRAMATIKAL, FONOLOGIS, DAN REFERENSIAL

Leave a comment