Gambar-gambar dramatis segitiga bermuda


Gambar-gambar dramatis segitiga bermuda

November 18, 2008 oleh ariel4ever

berikut ini beberapa gambar sehubungan dengan segitiga bermuda :.

Pada masa pelayaran Christopher Colombus, ketika melintasi area segitiga Bermuda, salah satu awak kapalnya mengatakan melihat “cahaya aneh berkemilau di cakrawala”.

Beberapa orang mengatakan telah mengamati sesuatu seperti meteor. Dalam catatannya ia menulis bahwa peralatan navigasi tidak berfungsi dengan baik selama berada di area

Berbagai peristiwa kehilangan di area tersebut pertama kali didokumentasikan pada tahun 1951 oleh E.V.W. Jones dari majalah Associated Press. Jones menulis artikel mengenai peristiwa kehilangan misterius yang menimpa kapal terbang dan laut di area tersebut dan menyebutnya ‘Segitiga Setan’. Hal tersebut diungit kembali pada tahun berikutnya oleh Fate Magazine dengan artikel yang dibuat George X. Tahun 1964, Vincent Geddis menyebut area tersebut sebagai ‘Segitiga Bermuda yang mematikan’ , setelah istilah ‘Segitiga Bermuda’ menjadi istilah yang biasa disebut.

Penjelasan yang meragukan

Tanggapan beberapa orang

Peta tempat-tempat yang mengandung gas methanaz

Perusahaan asuransi laut Lloyd’s of London menyatakan bahwa segitiga bermuda bukanlah lautan yang berbahaya dan sama seperti lautan biasa di seluruh dunia, asalkan tidak membawa angkutan melebihi ketentuan ketika melalui wilayah tersebut. Penjaga pantai mengkonfirmasi keputusan tersebut. Penjelasan tersebut dianggap masuk akal, ditambah dengan sejumlah pengamatan dan penyelidikan kasus.

Gas Methana

Penjelasan lain dari beberapa peristiwa lenyapnya pesawat terbang dan kapal laut secara misterius adalah adanya gas methana di wilayah perairan tersebut. Teori ini dipublikasikan untuk pertama kali tahun 1981 oleh Badan Penyelidikan Geologi Amerika Serikat. Teori ini berhasil diuji coba di laboratorium dan hasilnya memuaskan beberapa orang tentang penjelasan yang masuk akal seputar misteri lenyapnya pesawat-pesawat dan kapal laut yang melintas di wilayah tersebut.

Penjelasan lain

Ada yang mengatakan Segitiga Bermuda disebabkan karena tempat tersebut merupakan pangkalan UFO sekelompok mahkluk luar angkasa/alien yang tidak mau diusik oleh manusia,sehingga kendaraan apapun yang melewati teritorial tersebut akan terhisap dan diculik. Ada yang mengatakan bahwa penyebabnya dikarenakan oleh adanya sumber magnet terbesar di bumi yang tertanam di bawah Segitiga

Bermuda,sehingga logam berton-tonpun dapat tertarik ke dalam. Dan bahkan ada yang mengatakan Segitiga Bermuda merupakan pusat bertemunya antara arus air dingin dengan arus air panas,sehingga akan mengakibatkan pusaran air yang besar/dasyat.

Meskipun beberapa teori dilontarkan, namun tidak ada yang memuaskan sebab munculnya tambahan seperti benda asing bersinar yang mengelilingi pesawat sebelum kontak dengan menara pengawas terputus dan pesawat lenyap.

Peristiwa-peristiwa terkenal

Pesawat pada penerbangan TBF Grumman Avenger, mirip dengan penerbangan 19

Salah satu kisah yang terkenal dan bertahan lama dalam banyaknya kasus misterius mengenai hilangnya pesawat-pesawat dan kapal-kapal yang melintas di segitiga bermuda adalah Penerbangan 19. Penerbangan 19 merupakan kesatuan angkatan udara dari lima pesawat pembom angkatan laut Amerika Serikat.

Penerbangan itu terakhir kali terlihat saat lepas landas di Fort Lauderdale, Florida pada tanggal 5 Desember 1945. Pesawat-pesawat pada Penerbangan 19 dibuat secara sistematis oleh orang-orang yang ahli penerbangan dan kelautan untuk mengahadapi situasi buruk, namun tiba-tiba dengan mudah menghilang setelah mengirimkan laporan mengenai gejala pandangan yang aneh, dianggap tidak masuk akal.

Karena pesawat-pesawat pada Penerbangan 19 dirancang untuk dapat mengapung di lautan dalam waktu yang lama, maka penyebab hilangnya dianggap karena penerbangan tersebut masih mengapung-apung di lautan menunggu laut yang tenang dan langit yang cerah.

Setelah itu, dikirimkan regu penyelamat untuk menjemput penerbangan tersebut, namun tidak hanya pesawat Penerbangan 19 yang belum ditemukan, regu penyelamat juga ikut lenyap. Karena kecelakaan dalam angkatan laut ini misterius, maka dianggap “penyebab dan alasannya tidak diketahui”.

Kronologi dari beberapa peristiwa terkenal

  • 1840: HMS Rosalie
  • 1872: The Mary Celeste, salah satu misteri terbesar lenyapnya beberapa kapal di segitiga bermuda
  • 1909: The Spray
  • 1917: SS Timandra
  • 1918: USS Cyclops (AC-4) lenyap di laut berbadai, namun sebelum berangkat menara pengawas mengatakan bahwa lautan tenang sekali, tidak mungkin terjadi badai, sangat baik untuk pelayaran
  • 1926: SS Suduffco hilang dalam cuaca buruk
  • 1938: HMS Anglo Australian menghilang. Padahal laporan mengatakan cuaca hari itu sangat tenang
  • 1945: Penerbangan 19 menghilang
  • 1952: Pesawat British York transport lenyap dengan 33 penumpang
  • 1962: US Air Force KB-50, sebuah kapal tanker, lenyap
  • 1970: Kapal barang Perancis, Milton Latrides lenyap; berlayar dari New Orleans menuju Cape Town.
  • 1972: Kapal Jerman, Anita (20.000 ton), menghilang dengan 32 kru
  • 1976: SS Sylvia L. Ossa lenyap dalam laut 140 mil sebelah barat Bermuda.
  • 1978: Douglas DC-3 Argosy Airlines Flight 902, menghilang setelah lepas landas dan kontak radio terputus
  • 1980: SS Poet; berlayar menuju Mesir, lenyap dalam badai
  • 1995: Kapal Jamanic K (dibuat tahun 1943) dilaporkan menghilang setelah melalui Cap Haitien
  • 1997: Para pelayar menghilang dari kapal pesiar Jerman
  • 1999: Freighter Genesis hilang setelah berlayar dari Port of Spain menuju St Vincent.

file-file video yang berhubungan dengan segitiga bermuda
Code:
http://rapidshare.com/files/32229944/National.Geographic.Earth.Investigated.Bermuda.Triangle.PDTV.XviD-AERiAL.part1.rar
http://rapidshare.com/files/32229872/National.Geographic.Earth.Investigated.Bermuda.Triangle.PDTV.XviD-AERiAL.part2.rar
http://rapidshare.com/files/32229918/National.Geographic.Earth.Investigated.Bermuda.Triangle.PDTV.XviD-AERiAL.part3.rar
http://rapidshare.com/files/32229866/National.Geographic.Earth.Investigated.Bermuda.Triangle.PDTV.XviD-AERiAL.part4.rar

Password: 1234567890

link lainnya:
Code:
http://rapidshare.com/files/26995516/Bermude.part1.rar
http://rapidshare.com/files/27138854/Bermude.part2.rar
http://rapidshare.com/files/27173077/Bermude.part3.rar
http://rapidshare.com/files/27199612/Bermude.part4.rar

_________________________

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Segitiga_Bermuda

http://www.zimbio.com/Bermuda+Triangle/articles/5/Natgeo+Earth+Investigated+Bermuda+Triangle

ALAMAT ASLI POSTINGAN INI: http://ariellucky.wordpress.com/2008/11/18/gambar-gambar-dramatis-segitiga-bermuda/

Kisah Sodom dan Kaum Nabi Luth yang Dihancurkan Allah


Tulisan ini saya ambil dari website Harun Yahya, semoga bermanfaat :)

*Kota kediaman Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai kota Sodom

 

KAUM NABI LUTH DAN KOTA YANG DIJUNGKIRBALIKKAN

“Kaum Luth pun telah mendustakan ancaman-ancaman (Nabinya). Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing, sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu.” (QS. Al Qamar, 54: 33-36)

Luth hidup semasa dengan Ibrahim. Luth diutus sebagai rasul atas salah satu kaum tetangga Ibrahim. Kaum ini, sebagaimana diutarakan oleh Al Quran, mempraktikkan perilaku menyimpang yang belum dikenal dunia saat itu, yaitu sodomi (homoseksual). Ketika Luth menyeru mereka untuk menghentikan penyimpangan tersebut dan menyampaikan peringatan Allah, mereka mengabaikannya, mengingkari kenabiannya, dan meneruskan penyimpangan mereka. Pada akhirnya kaum ini dimusnahkan dengan bencana yang mengerikan.

Kota kediaman Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini diketahui telah dihancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian arkeologis mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang terbentang memanjang di antara perbatasan Palestina-Yordania.

Sebelum mencermati sisa-sisa dari bencana ini, marilah kita lihat mengapa kaum Luth dihukum seperti ini. Al Quran menceritakan bagai-mana Luth memperingatkan kaumnya dan apa jawaban mereka:

“Kaum Luth telah mendustakan rasulnya, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa?”. Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang yang diusir”. Luth berkata ‘Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu’.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 160-168 )

Sebagai jawaban atas ajakan ke jalan yang benar, kaum Luth justru mengancamnya. Kaumnya membenci Luth karena ia menunjuki mereka jalan yang benar, dan bermaksud menyingkirkannya dan orang-orang yang beriman bersamanya. Dalam ayat lain, kejadian ini dikisahkan sebagai berikut:

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (homoseksual) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan para pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” (QS. Al A’raaf, 7: 80-82)

Luth menyeru kaumnya kepada sebuah kebenaran yang begitu nyata dan memperingatkan mereka dengan jelas, namun kaumnya sama sekali tidak mengindahkan peringatan macam apa pun dan terus menolak Luth dan tidak mengacuhkan azab yang telah ia sampaikan kepada mereka:

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang sebelumnya belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu”. Apakah sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki, menyamun, dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” ( QS. Al ‘Ankabuut, 29: 28-29)

Karena menerima jawaban sedemikian dari kaumnya, Luth meminta pertolongan kepada Allah.

“Ia berkata: “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (QS. Al ‘Ankabuut, 29: 30)

“Ya Tuhanku, selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” ( QS. Asy-Syu’araa’, 26:169)

Atas doa Luth tersebut, Allah mengirimkan dua malaikat dalam wujud manusia. Kedua malaikat ini mengunjungi Ibrahim sebelum mendatangi Luth. Disamping membawa kabar gembira kepada Ibrahim bahwa istrinya akan melahirkan seorang jabang bayi, kedua utusan itu menjelaskan alasan pengiriman mereka: Kaum Luth yang angkara akan dihancurkan:

“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu hai para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth), agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah yang (keras), yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membi-nasakan) orang-orang yang melampaui batas” (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 31-34)

“Kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya).” (QS. Al Hijr, 15: 59-60)

Setelah meninggalkan Ibrahim, para malaikat yang dikirim sebagai utusan lalu mendatangi Luth. Karena belum pernah bertemu utusan sebelumnya, Luth awalnya merasa khawatir (karena tamunya laki-laki, Luth takut kaumnya melakukan perbuatan sodomi itu terhadap tamunya), namun kemudian ia merasa tenang setelah berbicara dengan mereka.

“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena keda-tangan mereka, dan dia berkata, “Inilah hari yang amat sulit.” (QS. Huud, 11: 77)

“Ia berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini datang kepadamu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang kepadamu membawa kebenaran dan sesungguhnya kami betul-betul orang yang benar. Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang dan janganlah seorang pun di antara kamu menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu”. Dan Kami telah wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (QS. Al Hijr, 15 : 62-66)

Sementara itu, kaum Luth telah mengetahui bahwa ia kedatangan tamu. Mereka tidak ragu-ragu untuk mendatangi tamu-tamu tersebut dengan niat buruk sebagaimana terhadap yang lain-lain sebelumnya. Mereka mengepung rumah Luth. Karena khawatir atas keselamatan tamunya, Luth berbicara kepada kaumnya sebagai berikut:

“Luth berkata: “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina.” (QS. Al Hijr, 15 : 68-69)

Kaum Luth menjawab dengan marah:

“Mereka berkata: “Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia.” (QS. Al Hijr, 15: 70)

Merasa bahwa ia dan tamunya akan mendapatkan perlakuan keji, Luth berkata:

“Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu akan aku lakukan).” (QS. Huud, 11: 80)

“Tamu”-nya mengingatkannya bahwa sesungguhnya mereka adalah utusan Allah dan berkata:

“Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Huud, 11 : 81)

Ketika kelakuan jahat warga kota memuncak, Allah menyelamatkan Luth dengan perantaraan malaikat. Pagi harinya, kaum Luth dihancurleburkan dengan bencana yang sebelumnya telah ia sampaikan.

“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal.” (QS. Al Qamar, 54: 37-38)

Ayat yang menerangkan penghancuran kaum ini sebagai berikut :

“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu belerang yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang meperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia).” (QS. Al Hijr, 15: 73-76)

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Huud, 11: 82-83)

“Kemudian Kami binasakan yang lain, dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu belerang), maka amat kejamlah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesungguh-nya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesung-guhnya Tuhanmu, benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 172-175)

Ketika kaum tersebut dihancurkan, hanya Luth dan pengikutnya, yang tidak lebih dari “sebuah keluarga”, yang diselamatkan. Istri Luth sendiri juga tidak percaya, dan ia juga dihancurkan.

“Dan (Kami juga yang telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelumnya?”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang me-lampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri”. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu belerang), maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang memperturutkan dirinya dengan dosa dan kejahatan itu.” (QS. Al A’raaf, 7: 80-84)

Demikianlah, Nabi Luth diselamatkan bersama para pengikut dan keluarganya, kecuali istrinya. Sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Lama, ia (Luth) berimigrasi bersama Ibrahim. Akan halnya kaum yang sesat itu, mereka dihancurkan dan tempat tinggal mereka diratakan dengan tanah.

“TANDA-TANDA YANG NYATA” DI DANAU LUTH

Ayat ke-82 Surat Huud dengan jelas menyebutkan jenis bencana yang menimpa kaum Luth. “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri Kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi.”

Pernyataan “menjungkirbalikkan (kota)” bermakna kawasan terse-but diluluhlantakkan oleh gempa bumi yang dahsyat. Sesuai dengan ini, Danau Luth, tempat penghancuran terjadi, mengandung bukti “nyata” dari bencana tersebut.

Kita kutip apa yang di-katakan oleh ahli arkeologi Jerman bernama Werner Keller, sebagai berikut:

Bersama dengan dasar dari retakan yang sangat lebar ini, yang persis me-lewati daerah ini, Lembah Siddim, termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam sa-tu hari terjerumus ke kedalaman. Kehancuran mereka terjadi melalui se-buah peristiwa gempa bu-mi dahsyat yang mung-kin disertai dengan letus-an, petir, keluarnya gas alam serta lautan api.(13)

Malahan, Danau Luth, atau yang lebih dikenal dengan Laut Mati, terletak tepat di puncak suatu kawasan seismik aktif, yaitu daerah gempa bumi.

Dasar dari Laut Mati berdekatan dengan runtuhan yang berasal dari peristi-wa tektonik. Lembah ini terletak pada sebuah tegangan yang merentang antara Danau Taberiya di Utara dan tengah-tengah Danau Arabah di Selatan.(14)

Peristiwa tersebut dilukiskan dengan “Kami menghujani mereka dengan batu belerang keras sebagaimana tanah liat yang terbakar secara bertubi-tubi” pada bagian akhir ayat. Ini semua mungkin berarti letusan gunung api yang terjadi di tepian Danau Luth, dan karenanya cadas dan batu yang meletus berbentuk “terbakar” (kejadian serupa diceritakan dalam ayat ke-173 Surat Asy-Syu’araa’ yang menyebutkan: “Kami menghujani mereka (dengan belerang), maka amat kejamlah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu.”)

Berkaitan dengan hal ini, Werner Keller menulis :

Pergeseran patahan membangkitkan tenaga vulkanik yang telah tertidur lama sepanjang patahan. Di lembah yang tinggi di Jordania dekat Bashan masih terdapat kawah yang menjulang dari gunung api yang sudah mati; bentangan lava yang luas dan lapisan basal yang dalam yang telah terdeposit pada permukaan batu kapur.(15)

Sebuah ilustrasi yang menunjukkan letusan gunung berapi dan keruntuhan yang mengikutinya, yang memusnahkan seluruh kaum.
Lava dan lapisan basal merupakan bukti terbesar bahwa letusan gunung api dan gempa bumi pernah terjadi di sini. Bencana yang dilukiskan dengan ungkapan “Kami menghujani mereka dengan batu belerang keras sebagaimana tanah liat yang terbakar secara bertubi-tubi” dalam Al Quran besar kemungkinan menunjuk letusan vulkanis ini, dan Allah-lah Yang Mahatahu. Ungkapan “Ketika firman Kami telah terbukti, Kami jungkir-balikkan (kota)”, dalam ayat yang sama, mestilah menunjuk pada gempa bumi yang mengakibatkan letusan gunung api di atas permukaan bumi dengan akibat yang dahsyat, serta retakan dan reruntuhan yang diakibatkannya, dan hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

“Tanda-tanda nyata” yang disampaikan oleh Danau Luth tentu sangat menarik. Umumnya, kejadian yang diceritakan dalam Al Quran terjadi di Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Mesir. Tepat di tengah-tengah semua kawasan ini terletak Danau Luth. Danau Luth, serta sebagian peristiwa yang terjadi di sekitarnya, patut mendapat perhatian secara geologis. Danau tersebut diperkirakan berada 400 meter di bawah permukaan Laut Tengah. Karena lokasi terdalam dari danau tersebut adalah 400 meter, dasarnya berada di kedalaman 800 meter di bawah Laut Tengah. Inilah titik yang terendah di seluruh permukaan bumi. Di daerah lain yang lebih rendah dari permukaan laut, paling dalam adalah 100 meter. Sifat lain dari Danau Luth adalah kandungan garamnya yang sangat tinggi, kepekatannya hampir mencapai 30%. Oleh karena itu, tidak ada organisme hidup, semacam ikan atau lumut, yang dapat hidup di dalam danau ini. Hal inilah yang menyebabkan Danau Luth dalam literatur-literatur Barat lebih sering disebut sebagai ” Laut Mati”.

Kejadian yang menimpa kaum Luth, yang disebutkan dalam Al Quran berdasarkan perkiraan terjadi sekitar 1.800 SM. Berdasarkan pada penelitian arkeologis dan geologis, peneliti Jerman Werner Keller mencatat bahwa kota Sodom dan Gomorah benar-benar berada di lembah Siddim yang merupakan daerah terjauh dan terendah dari Danau Luth, dan bahwa pernah terdapat situs yang besar dan dihuni di daerah itu.

Karakteristik paling menarik dari struktur Danau Luth adalah bukti yang menunjukkan bagaimana peristiwa bencana yang diceritakan dalam Al Quran terjadi:

Pada pantai timur Laut Mati, semenanjung Al Lisan menjulur seperti lidah jauh ke dalam air. Al Lisan berarti “lidah” dalam bahasa Arab. Dari daratan tidak tampak bahwa tanah berguguran di bawah permukaan air pada sudut yang sangat luar biasa, memisahkan laut menjadi dua bagian. Di sebelah kanan semenanjung, lereng menghunjam tajam ke kedalaman 1200 kaki. Di sebelah kiri semenanjung, secara luar biasa kedalaman air tetap dangkal. Penelitian yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kedalamannya hanya berkisar antara 50 – 60 kaki. Bagian dangkal yang luar biasa dari Laut Mati ini, mulai dari semenanjung Al Lisan sampai ke ujung paling Selatan, dulunya merupakan Lembah Siddim.(16)

Werner Keller menenggarai bahwa bagian dangkal ini, yang ditemu-kan terbentuk belakangan, merupakan hasil dari gempa bumi dahsyat yang telah disebutkan di atas. Di sinilah Sodom dan Gomorah berada, yakni tempat kaum Luth pernah hidup.

Suatu ketika, daerah ini dapat dilintasi dengan berjalan kaki. Namun sekarang, Lembah Siddim, tempat Sodom dan Gomorah dahulunya ber-ada, ditutupi oleh permukaan datar bagian Laut Mati yang rendah. Ke-runtuhan dasar danau akibat bencana alam mengerikan yang terjadi di awal alaf kedua sebelum Masehi mengakibatkan air garam dari utara mengalir ke rongga yang baru terbentuk ini dan memenuhi lembah sungai dengan air asin.

Jika seseorang bersampan melintasi Danau Luth ke titik paling utara dan matahari sedang bersinar pada arah yang tepat, maka ia akan melihat sesuatu yang sangat menakjubkan. Pada jarak tertentu dari pantai dan jelas terlihat di bawah permukaan air, tampaklah gambaran bentuk hutan yang diawetkan oleh kandungan garam Laut Mati yang sangat tinggi. Batang dan akar di bawah air yang berwarna hijau berkilauan tampak sangat kuno. Lembah Siddim, di mana pepohonan ini dahulu kala bermekaran daunnya menutupi batang dan ranting merupakan salah satu tempat terindah di daerah ini. Aspek mekanis dari bencana yang menimpa kaum Luth diungkapkan oleh para peneliti geologi. Mereka mengungkapkan bahwa gempa bumi yang menghancurkan kaum Luth terjadi sebagai akibat rekahan yang sangat panjang di dalam kerak bumi (garis patahan) sepan-jang 190 km yang membentuk dasar sungai Sheri’at. Sungai Sheri’at membuat air terjun sepanjang 180 meter keseluruhannya. Kedua hal ini dan fakta bahwa Danau Luth berada 400 meter di bawah permukaan laut adalah dua bukti penting yang menunjukkan bahwa peristiwa geologis yang sangat hebat pernah terjadi di sini.

Sisa-sisa dari kota yang terkubur ke dalam danau, ditemukan di tepian danau. Peninggalan ini menunjukkan bahwa kaum Luth telah memiliki standar hidup yang cukup tinggi.

Struktur Sungai Sheri’at dan Danau Luth yang menarik hanya merupakan sebagian kecil dari rekahan atau patahan yang melintas dari kawasan bumi tersebut. Kondisi dan panjang rekahan ini baru ditemukan akhir-akhir ini.

Rekahan tersebut berawal dari tepian Gunung Taurus, memanjang ke pantai selatan Danau Luth dan berlanjut melewati Gurun Arabia ke Teluk Aqaba dan terus melintasi Laut Merah, dan berakhir di Afrika. Di sepanjangnya teramati kegiatan-kegiatan vulkanis yang kuat. Batuan basal hitam dan lava terdapat di Gunung Galilea di Palestina, daerah dataran tinggi Yordan, Teluk Aqaba, dan daerah sekitarnya.

Seluruh reruntuhan dan bukti geografis tersebut menunjukan bahwa bencana geologis dahsyat pernah terjadi di Danau Luth. Werner Keller menulis:

Bersama dengan dasar dari retakan yang sangat lebar ini, yang persis melewati daerah ini, Lembah Siddim, termasuk Sodom dan Gomorrah, dalam satu hari terjerumus ke kedalaman. Kehancuran mereka terjadi melalui sebuah peristiwa gempa bumi dahsyat yang mungkin disertai dengan letusan, petir, keluarnya gas alam serta lautan api. Pergeseran patahan membang-kitkan tenaga vulkanik yang telah tertidur lama sepanjang patahan. Di lembah yang tinggi di Jordania dekat Bashan masih terdapat kawah yang menjulang dari gunung api yang sudah mati; bentangan lava yang luas dan lapisan basal yang dalam yang telah terdeposit pada permukaan batu kapur.(17)

National Geographic edisi Desember 1957 menyatakan sebagai berikut:

Gunung Sodom, tanah gersang dan tandus muncul secara tajam di atas Laut Mati. Belum pernah seorang pun menemukan kota Sodom dan Gomorrah yang dihancurkan, namum para akademisi percaya bahwa mereka berada di lembah Siddim yang melintang dari tebing terjal ini. Kemungkinan air bah dari Laut Mati menelan mereka setelah gempa bumi.(18)

***

Wallahu’alam

Sumber: http://www.harunyahya.com/

SUMBER ASLI POSTINGAN INI

1 x 24 Jam Harap Lapor by HENDRI F. ISNAENI, Majalah Historia


1 x 24 Jam Harap Lapor
Kamis, 20 Januari 2011 – 01:24:32 WIB

Sistem keamanan lingkungan warisan Belanda dan Jepang. Dilanjutkan oleh Orde Baru.

PADA 1990, melalui survey Majalah Time menobatkan Bandung sebagai salah satu kota paling aman (safest) di dunia. Padahal saat itu, Bandung merupakan kota berpenduduk padat dengan populasi dua juta jiwa lebih dan mendiami wilayah seluas 16.729,50 hektare.

Menurut Joshua Barker, antropolog Universitas Toronto Kanada, salah satu institusi yang membuat Bandung menjadi kota yang aman adalah Siskamling (sistem keamaman lingkungan). Kegiatannya disebut ronda dengan suatu aturan –yang di setiap RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), pasti ada: 1 x 24 jam wajib lapor.

“Siapa pun yang tinggal di lingkungan selama lebih dari dua puluh empat jam harus melapor kehadirannya kepada ketua RW (1 x 24 jam wajib lapor),” kata Barker dalam tulisannya, “Surveillance and Territoriality in Bandung” yang dimuat dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam. “Aturan ini dipampangkan di pintu masuk ke RW tersebut dan menjadi pemberitahuan ketika seseorang pergi,” lanjut Barker.

Aturan 1 x 24 jam merupakan hukum kolonial Belanda yang agak dipaksakan secara sistematis, terutama untuk orang asing. Aturan yang diketahui melalui buku L. Th. Mayer, Peratoeran Hoekoeman Policie jang Oemoem atas Orang Bangsa Jawa dan Sebrang di Tanah Hindia-Nederland (18??) ini, antara lain menyebutkan tentang pemberlakuan denda satu sampai lima belas rupiah jika: pertama, seseorang yang berpindah dari suatu kampung ke kampung lain tanpa memberitahukan ke kepala kampung asal. Kedua, seseorang yang pindah ke sebuah kampung tapi tidak memberitahukan nama, pekerjaan, dan tempat asal kepada kepala kampung dalam waktu 24 jam setelah tiba di kampung tersebut. Ketiga, seorang yang menerima tamu tapi tidak melaporkan nama, pekerjaan dan tempat asal orang tersebut kepada kepala kampung dalam 24 jam. Dan dia tidak memberitahukan kepala kampung atas kepergian orang tersebut.

Aturan 1 x 24 jam dibuat “karena dalam setiap daerah (negri) ada yang memimpin, atau orang yang bertanggung jawab untuk mempertahankan keamanan publik (kaslametannja orang banjak), yang harus diberitahu ketika ada orang yang datang dan pergi … sehingga tidak seorang pun yang akan ceroboh untuk meninggalkan tempat itu atau membawa orang lain ke tempat itu tanpa memberitahukan kepada pemimpin setempat atau polisi. Hal ini juga untuk mencari pelaku, atau orang lain lebih mudah,” tulis L. Th. Mayer sebagaimana dikutip Barker.

Aturan 1 x 24 jam diterapkan dengan efektif pada masa Orde Baru dengan “RT/RW sebagai pihak yang mendapat ‘kehormatan’ untuk menerima laporan 1 x 24 jam dari warga yang nyelonong ke kampungnya melebihi batas waktu tersebut,” tulis tajuk Sinar Harapan, 1 November 2004.

Di pinggiran kota Bandung yang miskin, ketika Barker melakukan penelitian dan tinggal dengan kepala RW, pemantauan kedatangan dan kepergian orang-orang menjadi sebagian besar pekerjaan ketua RW dalam 1 x 24 jam. Tapi sistem pelaporannya dapat bervariasi dengan aturan yang berbeda. Di wilayah perkotaan hal penting tentang laporan ini adalah bahwa identitas pengunjung dicatat dalam sebuah buku. “Pertanyaan umum yang biasa ditanyakan kepada pengunjung seperti dari mana berasal, bagaimana datangnya, dan akan tinggal bersama keluarga siapa,” kata Barker.

Peranan RT/RW melakukan kontrol keamanan di lingkungannya dengan menerapkan aturan 1 x 24 jam wajib lapor diadopsi oleh Orde Baru dari sistem tonarigumi saat pendudukan Jepang di Indonesia. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sejak pendaratannya di Jawa pada 1942, Jepang menghidupkan kembali surat jalan dan bertempat tinggal (Wijk en Passenstelsel) yang diperkenalkan dan dikenakan oleh VOC kepada penduduk Tionghoa. Jepang mengenakannya kepada seluruh penduduk Jawa.

“Orang harus memiliki keterangan penduduk. Untuk bepergian ke luar daerahnya harus ada surat keterangan khusus. Menginap di luar domisili harus melapor ke pejabat setempat. Semua ini diawasi oleh tonarigumi yang ada di setiap kampung,” tulis Pram.

Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol menulis bahwa tonarigumi resmi dikenalkan di Jawa pada Januari 1944. Pada jenjang terendah, tonarigumi terdiri dari 10 atau 20 rumah tangga dan “berlaku untuk memperketat cengkeraman pemerintah atas penduduk serta untuk meningkatkan komunikasi dengan mereka.”

Di Jepang, cikal bakal tonarigumi ada sejak zaman Tokugawa. Saat itu, unit dasar masyarakat pedesaan disebut buraku, yakni pengelompokan rumah secara alamiah terdiri dari 50-100 rumah tangga yang dibagi ke dalam beberapa kelompok yang disebut goningumi (rukun lima rumah tangga). Setelah Restorasi Meiji, buraku dibubarkan. Pada 1890, sekira 76.000 buraku direorganisasi melalui dekrit pemerintah ke dalam unit administratif baru: son yang dikepalai oleh soncho. Saat itu, jumlah son ada 12.000. Tapi di banyak daerah buraku tetap dihidupkan dengan nama baru: tonarigumi.

Menjelang Perang Dunia II, dalam rangka kebijakan “Mobilisasi Total”, Kementerian Dalam Negeri mulai menaruh perhatian kepada manfaat tonarigumi sebagai unit terendah untuk melakukan kontrol dan sekaligus memobilisasi penduduk. Tonarigumi bertindak sebagai sarana efektif dalam melakukan kontrol atas penduduk Jepang pada masa perang. Setiap rumah tangga dipaksa supaya berpartisipasi, dan bagi yang tidak mau, tidak berhak untuk ikut serta dalam kegiatan regional apa pun, termasuk distribusi makanan.

Dalam beberapa hal tonarigumi di Jawa dan di Jepang memiliki fungsi yang sama. Pada kedua kasus, di masyarakat pedesaan tonarigumi dianggap sebagai lembaga untuk membantu pemerintahan desa karena beban kerja pemerintah yang meningkat akibat situasi perang.

“Di antaranya yang terpenting adalah keamanan dengan bekerja sama keibodan (organisasi keamanan) dalam mempertahankan tanah air dan melawan serangan udara, kebakaran, mata-mata, dan penjahat, tulis Kurasawa.

Dan keamananlah yang menjadi prioritas utama Orde Baru. Karena itu, ketua RT/RW harus menjaga keamanan lingkungannya dengan menerapkan aturan 1 x 24 jam wajib lapor. Sejarawan Asvi Warman Adam kepada Sinar Harapan, 1 November 2004, mengakui bahwa RT/RW di era Orde Baru memang menjadi ”momok” bagi kebebasan masyarakat sipil. Ia menjadi “mata dan telinga” penguasa. Pada 1980-an, ia digunakan untuk menyisir para aktivis maupun simpatisan yang ditengarai terlibat dalam G30S. “Proses sejarah dan kesadaran politik warga yang berkembang saat ini, telah menggeser peranan RT/RW tersebut menjadi lembaga yang menampung aspirasi komunitas,” kata Asvi.

Tulisan 1 x 24 jam masih dapat kita temui, biasanya ditempel di pos ronda. RT/RW juga masih menjalankan tugasnya mencatat penduduk yang datang dang keluar, meski tidak seketat Orde Baru. Sepertinya, pertumbuhan dan mobilisasi penduduk yang cepat menjadi penghambat pelaksanaan aturan 1 x 24 jam.[HENDRI F. ISNAENI]

ALAMAT ASLI POSTINGAN INI http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-401-1-x-24-jam-harap-lapor.html

Polisi Zaman Kumpeni by BONNIE TRIYANA, Majalah Historia


Polisi Zaman Kumpeni
Selasa, 18 Januari 2011 – 18:40:22 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.

DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah demikian?

Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.

Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?

Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.

Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.

Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.

Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.

Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.

Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.

Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.

Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.

Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.

Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.

Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral.  Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).

Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan. [BONNIE TRIYANA]

Alamat Asli Postingan ini : http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-398-polisi-zaman-kumpeni.html

Demokrasi untuk Yogyakarta?? by Bonnie Triyana


Dimuat pertama kali oleh Majalah Historia Online, 30 Desember 2010.

Demokrasi untuk Yogyakarta?

Perang tafsir sejarah sedang terjadi antara Jakarta dengan Yogyakarta.

SECARA metodologis kata “seandainya” tidak bisa digunakan untuk menganlisa peristiwa sejarah. Tapi kalau saja boleh berandai-andai melihat fakta sejarah, maka sebuah pertanyaan dilontarkan dalam kasus kisruh keistimewaan Yogyakarta akhir-akhir ini: bagaimana seandainya Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia yang masih jabang bayi itu? Tentu jawabannya bisa bermacam rupa dan semuanya memiliki potensi untuk menjadi benar atau salah. Namun pastinya baik jawaban itu salah atau benar tak satu pun yang menjadi realitas karena hanya berangkat dari kata seandainya.

Sejarah perlu ditelaah lebih dari sekadar teks. Ia bisa berhenti sebagai “kisah mati” yang rawan dimistifikasi jika tak meninjau lebih jauh kontekstual peristiwa sejarah yang terjadi pada zamannya. Begitu pula dalam soal melihat silang sengkarut perselisihan paham antara keluarga keraton dan warga Yogyakarta di satu sisi dengan pemerintah di sisi lain dalam menyoal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK).

Pada masa kolonial, Yogyakarta dan Surakarta merupakan dua daerah kerajaan (vorstenlanden) yang berada di bawah kekuasaan raja. Sultan HB IX (HB IX) sebagai raja Yogyakarta yang menggantikan takhta ayahnya, HB VIII dengan kesadaran politik dan latar belakang pengetahuannya yang modern memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, HB IX mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta atas berdirinya negara Republik Indonesia.

Pada 5 September 1945, Sultan HB IX memaklumkan amanat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Seperti termuat dalam buku Tahkta Untuk Rakyat, maklumat September itu memuat tiga pokok, yakni, pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI. Kedua, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI.

Kenapa Sultan HB IX memilih untuk bergabung dengan Republik dan menolak beragam tawaran Belanda yang menggiurkan?

Seperti diakuinya di dalam buku Takhta Untuk Rakyat, HB IX mengatakan hal yang mungkin irasionil namun itu benar terjadi padanya. Telah datang kepadanya sebuah bisikan gaib pada Februari 1940 yang mengabarkan tentang keruntuhan kekuasan Belanda di Indonesia. HB IX pun mengakui kalau dia hidup dalam dua dunia: dunia keraton yang menempatkannya sebagai seorang raja dalam alam feodal dan dunia luar kraton yang penuh dengan tantangan zaman yang mulai berubah ke arah modernitas.

Sultan HB IX yang berpendidikan barat dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yang berkembang di masyarakat. Dia seorang yang rumit: modernis yang berperan sebagai raja Jawa dalam kungkungan alam feodalisme. Oleh sebab itulah Sultan HB IX tahu benar harus berada di mana saat gerakan kemerdekaan yang diusung kelompok nasionalis Indonesia sejak awal abad ke-20 memainkan peranan penting dalam masa peralihan yang penuh gejolak.

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan HB IX memilih untuk berada bersama Republik. Proklamasi 17 Agutus 1945 mengubah telah semuanya. Membongkar tatanan yang di masa sebelumnya ajeg dan dianggap normal. Serangkaian kalimat dalam teks proklamasi menimbulkan gelombang besar: “Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”

Seruan pemindahan kekuasaan itu pun menjalar ke kota-kota dan pedesaan di seluruh penjuru negeri. Pada hari itu ada yang berdiri, ada pula yang runtuh. “Yang ambruk adalah sebuah wacana,” kata Goenawan Mohamad dalam kolomnya di Majalah Tempo, edisi kemerdekaan 2008 lalu. Jepang kalah perang dan Belanda tak lagi berkuasa. Proklamasi kemerdekaan menjadi awal revolusi nasional yang melahirkan identitas sebuah negara yang baru. Revolusi sosial menyusul kemudian.

Feodalisme yang tumbuh subur semasa kolonialisme berkuasa menjadi sasaran gerakan revolusi. Kurang dari sepekan, kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia telah menyulut gerakan revolusi sosial di Banten. Sejumlah pejabat pribumi yang datang dari kalangan menak (priyai), yang menjadi sasaran kemarahan. Mereka dianggap sekutu pemerintah kolonial yang tak senafas dengan tujuan revolusi Indonesia. Jabatan residen dan bupati diisi oleh kaum republikein pendukung revolusi. Haji Achmad Chatib, seorang aktivis politik yang pernah terlibat dalam pemberontakan komunis di Banten 1926 menjabat residen Banten.

Bulan Oktober 1945 revolusi sosial pun menjalar hingga ke tiga daerah di wilayah Eks Karesidenan Pekalongan. Anton Lucas Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi mencatat aksi revolusi sosial bermula ketika lurah desa Cerih, Tegal Selatan diperlakukan hina oleh rakyat dalam sebuah arak-arakan dombreng. Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng” yang mengambarkan pukulan pada kayu atau bunyi kaleng kosong yang dipukul oleh pengaraknya. Arak-arakan yang sebelum era revolusi digunakan untuk mempermalukan maling yang tertangkap basah itu kemudian digunakan untuk menggiring para pamong desa simbol kaum feodal.

Revolusi di ketiga daerah itu pun membawa perubahan pada cara berbahasa. Kaum revolusioner setempat yang dipelopori oleh tokoh-tokoh PKI seperti Subandi Widarta selama revolusi sosial berlangsung mendorong rakyat di tiga daerah untuk tidak menggunakan gelar kebangsawanan. Residen Sarjio yang hanya duduk sebagai residen dalam empat hari saja di bulan Desember mengumumkan agar penggunaan panggilan “ndoro”, “paduka” dan “abdi” diganti dengan “bung” atau “saudara”.

Revolusi sosial pun berkobar di Aceh, di mana terjadi pembunuhan terhadap kalangan uleebalang yang selama pemerintahan kolonial menjadi pegawai Belanda. Begitu pun di Sumatera Timur, revolusi digerakkan oleh organisasi kepemudaan seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nasionalis Pemuda Indonesia (Napindo) Barisan Harimau Liar dan Hizbullah menahan para pejabat, bangsawan semua simbol-simbol feodalisme. Keluarga Kesultanan Deli pun tak luput dari sasaran kaum revolusioner yang mengamuk. Salah satu korbannya adalah Amir Hamzah, penyair angkatan Pujangga Baru, yang tewas dalam peristiwa tersebut.

Tapi revolusi sosial menemui situasi yang anti-klimaks, di mana para kaum revolusioner harus menyingkir dari panggung politik revolusi bahkan ditangkap atas alasan mengacau keadaan. Namun demikian revolusi sosial, kendati tidak merata, telah meneguhkan cita-cita kemerdekaan itu sendiri: bahwa kehidupan masyarakat di alam kemerdekaan haruslah dibangun di atas pondasi demokratis, egaliter, dan tak bersumber pada struktur sosial yang hirarkis berdasarkan nilai-nilai feodalisme.

Sutan Sjahrir sebagai salah seorang penganjur demokrasi menunjukkan kecemasannya apabila revolusi, yang menghendaki perubahan mentalitas bangsa Indonesia dari mentalitas jajahan ke jiwa-jiwa yang merdeka, tidak berjalan sempurna. Dia khawatir akan “warisan feodal masih sangat kuat terasa di kalangan orang Indonesia. Artinya, mereka telah terbiasa menerima patokan-patokan politik dari atas, sehingga mereka selalu menunggu perintah pemimpin tanpa sedikit pun berani mengambil prakarsa, ” kata Sjahrir seperti dikutip oleh Indonesianis George McTurnan Kahin dalam buku Mengenang Sjahrir.

Revolusi sosial tak sempat terjadi di Yogyakarta. Sultan HB IX kendati seorang raja yang berkuasa atas daerahnya tak hendak berjumawa dengan berdiri berseberangan dengan pihak republik. “…Proklamasi kemerdekaan segera diikuti oleh arus revolusi. Semua swapraja tergilas oleh roda revolusi, kecuali swapraja Kesultanan dan Pakualaman yang segera setelah proklamasi bersatu menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia,” tulis Mr. Sudarisman Purwokusumo yang dikutip Kustiniyati Mochtar dalam buku Takhta Untuk Rakyat.

Kini kontinuitas historis sedang diperdebatkan. Keistimewaan Kesultanan Yogyakarta yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa revolusi menimbulkan multitafsir, terutama pada satu poin dalam RUUK yang menghendaki gubernur Yogyakarta dipilih secara demokratis, bukan ditetapkan sebagaimana yang pernah diberlakukan terhadap Sultan HB IX dan Sultan HB X sebagai penerus HB IX.

Maklumat Sultan HB IX 5 September 1945 kendati secara jelas menyebutkan bahwa segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan HB IX, tetap menimbulkan pengertian yang mendua: apakah penetapan gubernur hanya berlaku buat HB IX saja ataukah berlaku sepanjang masa untuk anak-keturunan sultan Yogyakarta? Bilamana melihat semangat Sultan HB IX menggabungkan diri ke dalam Republik yang sedang berevolusi menuju alam yang demokratis maka sebuah tafsir lain bisa muncul: penetapan gubernur hanya berlaku untuk HB IX saja, sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah Republik Indonesia untuk seorang Raja Jawa yang berani mengambil sikap progresif dan melawan arus pada zamannya. Selebihnya, serahkan saja pada mekanisme demokrasi sebagaimana tujuan revolusi Indonesia yang dikobarkan oleh para pendiri republik ini, termasuk oleh Sultan HB IX (BONNIE TRIYANA)

SUMBER ASLI TULISAN: http://www.facebook.com/notes/bonnie-triyana/demokrasi-untuk-yogyakarta/477858606126

“Mao Zedong dan Korban 75 juta Jiwa”, by PembacaIndoPROGRESS


Coen Husain Pontoh

Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)

DALAM buku Understanding the Venezuelan Revolution, Martha Harnecker mengajukan pertanyaan kepada presiden Venezuela Hugo Chavez, “….faktor apa dalam hidup anda yang memberikan inspirasi secara politik dan apa visi anda bagi gerakan kiri Venezuela?” Chavez menjawab pertanyaan itu agak panjang, mulai ketika ia menjejakkan kakinya ke akademi militer pada 1970 serta keunikan sistem pendidikan militer Venezuela. Di akhir jawaban ia menutupnya dengan kalimat, “saya sangat suka tulisan-tulisan Mao dan saya mulai membaca karya-karyanya lebih banyak lagi.”

Menurut Chavez, setelah membaca karya-karya Mao, ia sampai pada beberapa kesimpulan yang sangat mendasar. Salah satu yang paling penting dan paling diyakininya dari Mao adalah pengibaratan hubungan rakyat dengan tentara seperti keberadaan air bagi ikan. Air akan terus eksis tanpa ikan, sebaliknya ikan tak bisa hidup tanpa air. “Saya selalu percaya itu dan terus mencoba untuk menerapkannya…. Saya melihat kebutuhan yang kuat akan hubungan antara rakyat dan tentara,” ujar Chavez.

Pengaruh Mao Zedong (Mao Tse Tung) pada Chavez hanyalah satu contoh, bagaimana ajaran dan teladan Mao melintasi daratan Cina. Pada masa Perang Dingin, pengaruh itu jauh lebih besar lagi. Partai Komunis Indonesia (PKI), partai terbesar ketiga di dunia saat itu, bahkan membangun aliansi dengan Partai Komunis Cina (PKC) dalam bentuk Poros Jakarta-Peking. Secara teoritik, pengaruh Mao diduga memengaruhi analisa ekonomi-politik PKI tentang struktur masyarakat Indonesia, yang menyimpulkan masyarakat Indonesia adalah “setengah feodal, setengah kolonial.”

Pada 1968, ketika gerakan mahasiswa bergolak di jalan-jalan utama Perancis, banyak aktivisnya yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Mao. Ilmuwan politik Ellen Meiksins Wood mengatakan, strukturalisme Althusser yang anti humanis dan kalangan post-Marxis yang menolak pendekatan kelas dalam analisa sosial, salah satunya berakar pada Maoisme ini. Pengaruh Mao juga tampak pada Alan Badiou, salah satu filsuf kiri Prancis terkemuka saat ini.

Kalau kita mengikuti sejarah pemikiran dan praktek politik dari lelaki yang lahir di kota Saoshan, provinsi Hunan, 26 Desember 1893, maka pengaruhnya yang melintasi tembok Cina sangatlah wajar. Pria yang akrab disapa Paman Mao oleh pengikutnya itu, adalah pemimpin revolusi Cina dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi Republik Rakyat Cina pada 1949. Sepanjang karir revolusionernya, Mao sarat dengan kontroversi. Dan tidak ada yang paling kontroversial selain tuduhan bahwa akibat program dan ambisi pribadinya akan kekuasaan yang tak terbatas, Mao telah membiarkan puluhan juta rakyat Cina mati kelaparan. Merayakan 117 tahun kelahirannya, tulisan ini akan menyoroti kontroversi itu.

Lompatan Jauh ke Depan

Pada Desember 1957, Mao mendeklarasikan program pembangunan ekonomi yang disebut “The Great Leap Forward” atau “Lompatan Jauh Ke Depan.” Menurut ekonom Minqi Li, cerita konvensional soal program Lompatan Jauh ke Depan dan seluruh kegagalannya, karena Mao memaksakan versi utopian komunisnya kepada para pemimpin partai. Melalui program-program yang tak ada justifikasi ilmiah dan bukti historis, Mao telah memaksa para pemimpin partai di tingkat provinsi dan lokal untuk memenuhi target produksi besar-besaran yang tidak realistis kepada para petani. Tidak adanya komunikasi yang efektif dan desentralisasi yang tidak masuk akal telah menyebabkan aktivitas ekonomi nasional mengalami kekacauan dan terjadi misalokasi sumberdaya yang luar biasa. Sementara itu rangsangan kepada petani untuk berproduksi semakin menurun akibat penentuan level pendapatan secara besar-besaran melalui sistem komune.

Hal-hal ini kemudian menyumbang pada gagalnya hasil produksi pertanian pada 1959 hingga 1962. Situasi gagal panen ini makin memburuk ketika pemerintah pusat mengambilalih produk pertanian kacang-kacangan dari daerah pedesaan, guna memenuhi kekurangan produksi kacang-kacangan secara nasional dari perkiraaan semula.

Akibat paling buruk dari gagalnya program Lompatan Jauh ke Depan ini, terjadi kemiskinan dan kelaparan massal yang luar biasa di seluruh Cina. Kemiskinan dan kelaparan ini adalah sesuatu yang terbesar dalam sejarah Cina, bahkan diklaim terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan ini bukan kemiskinan biasa, melainkan kemiskinan yang mematikan dengan jumlah korban yang mendirikan buluroma. Para intelektual liberal dan pemimpin Cina pasca Mao, mengeluarkan angka-angka yang berbeda mengenai jumlah penduduk yang meninggal akibat kelaparan itu.

Pemerintah Cina di bawah Deng Xiaoping, dalam rangka pembabatan warisan Mao, terutama berkaitan dengan Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan, mengeluarkan laporan resmi bahwa jumlah penduduk yang mati akibat kemiskinan dan kelaparan tersebut mencapai 16,5 juta orang. Para peneliti Amerika, mengajukan angka yang lebih besar lagi, 30 juta orang. Jung Chang dan John Halliday, dalam buku larisnya Mao: the Unknown Story, muncul dengan angka 70 juta, dan buku terbaru dari sejarahwan Frank Dikötter, Mao’s Great Famine, menyebutkan angka sebesar 45 juta orang.

Validitas data

Munculnya beragam angka yang menyebutkan tingkat kematian itu, mungkin tidak begitu penting bagi sebagian kalangan selama ini. Toh kampanye yang dituju telah tercapai, “Mao telah membiarkan rakyatnya mati akibat kemiskinan dan kelaparan.” Tetapi, bagi mereka yang ingin menegakkan kebenaran ilmiah, jumlah angka yang berbeda-beda itu menimbulkan pertanyaan serius menyangkut validitas dan akurasi dari mana dan bagaimana angka itu diperoleh?

Berhadan dengan kontroversi itu, kita mesti melampaui metode perhitungan statistik. Saya ingin mengajak anda untuk melihat perkembangan ekonomi dan sosial pada masa penerapan program Lompatan Jauh ke Depan. Demografer Judith Banister, salah satu pendukung tesis “the great death toll” mengatakan, dilihat dari segi tingkat harapan hidup pada tahun 1973-1975, maka posisi Cina lebih baik dari negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan banyak negara Amerika Latin. Pada tahun 1981, Banister bersama S. Preston, menulis tentang “hasil luar biasa” yang dicapai pemerintah RRC berkaitan dengan pengurangan tingkat kematian, dengan tingkat harapan hidup diperkirakan mencapai 1,5 per tahun per kalender sejak negara komunis itu memerintah pada 1949. Tingkat angka harapan hidup meningkat dari 35 pada 1949 menjadi 65 pada 1970, saat dimana Mao masih berkuasa hingga ajal menjemputnya.

Data yang dikeluarkan oleh rejim Deng Xiaoping, juga menunjukkan angka pertumbuhan yang positif. Misalnya, produksi industrial meningkat sebesar 11,2 persen per tahun dari 1952-1976 (bertumbuh 10 persen per tahun selama periode revolusi kebudayaan yang dituduh sebagai periode terkelam dalam sejarah Cina). Pada tahun 1952, sumbangan sektor industri terhadap pendapatan nasional bruto sebesar 36 persen. Pada 1975, sumbangan sektor industri meningkat menjadi 75 persen, sementara sumbangan sektor industri sebesar 28 persen. Data lain dari Guo Shutian, mantan direktur kebijakan dan hukum kementrian pertanian Cina di masa Mao menyebutkan, benar bahwa produksi pertanian menurun dalam periode 1949-1978, karena “bencana alam dan kesalahan dalam praktek.” Namun demikian, ia mengatakan antara 1949-1978 jumlah produksi pangan biji-bijian meningkat sebesar 145,9 persen dan total produksi pangan meningkat sebesar 169,6 persen. Selama periode ini, penduduk Cina bertumbuh sebesar 77,7 persen. Berdasarkan data ini, menurut Shutian, produksi pangan per kapita Cina meningkat dari 204 kg menjadi 328 kg dalam periode tersebut.

Menyimak data-data di atas, menjadi aneh jika melihat jumlah puluhan juta orang yang meninggal akibat kelaparan dan kemiskinan. Dimana rasionalisasinya? Jika asumsinya tampilan ekonomi yang positif itu hanya terkonsentrasi pada segelintir elit partai, hal itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pada masa Mao tingkat kesenjangan sosial masyarakat Cina adalah yang terbaik sepanjang sejarahnya. Berhadapan dengan keanehan ini, maka kita punya dua pilihan: pertama, percaya buta bahwa memang pada masa Lompatan Jauh ke Depan ada puluhan juta orang yang mati; atau kedua, kita menganggap angka-angka puluhan juta itu tak lebih sebagai propaganda murahan kalangan yang anti revolusi Cina. Namun demikian, pandangan hitam putih ini tidak memberikan banyak manfaat dalam melihat lebih jernih kontroversi tersebut, kecuali sikap ya tidak, ya tidak.

Ekonom Minqi Li memberikan penjelasan yang menarik soal itu. Menurut Li, data kasar tingkat kematian adalah 11.98, 14.59, dan 14.24 per seribu untuk tahun 1958, 1959, dan 1961. Sementara data kasar tingkat kematian untuk tahun 1960 adalah 25.43 per seribu. Tetapi, jika dibandingkan dengan tahun 1936 dan 1938, dimana data kasar tingkat kematian sebesar 28 pe seribu, padahal tahun-tahun itu bukanlah tahun-tahun yang miskin, lalu mengapa tahun 1960 disebut tahun kemiskinan? Boleh jadi alasannya, demikian Li, bahwa jumlah sebesar itu terjadi karena tahun 1936 dan 1938 adalah tahun perang dan pemerintah nasional juga tidak bisa mengontrol seluruh wilayah. Jika logika ini dipakai, maka pemerintah nasional tentu hanya bisa mengoleksi data dari wilayah yang bisa dikontrolnya, yang secara komparatif tentu lebih aman dan secara ekonomi lebih baik. Demikian juga, jika dibandingkan dengan rata-rata angka kasar tingkat kematian di seluruh dunia yang mencapai 18.5 per seribu pada 1950, maka angka kasar tingkat kematian di Cina pada tahun tersebut hanya sebesar 18 per seribu. Patut diketahui bahwa tahun 1950 adalah tahun pertama yang paling damai sejak Cina di bawah pemerintahan PKC. Dengan perbandingan ini, dimana tahun yang paling parah adalah 1960, maka menurut perhitungan Li, jumlah penduduk yang mati pada masa Lompatan Jauh ke Depan adalah sebesar 4.9 juta atau 0.7 persen dari total populasi Cina.

Tanggung jawab Mao?

Siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan itu? Setelah program Lompatan Jauh ke Depan usai, pemerintah Mao menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa tragedi itu disebabkan oleh 70 persen akibat bencana alam dan 30 persen akibat kesalahan manusia. Tetapi, setelah rejim Deng Xiaoping berkuasa, komposisi itu dibalik: 70 persen akibat kesalahan manusia dan 30 persen akibat bencana alam. Dan 70 persen itu bebannya ditanggung oleh Mao Zedong.

Selama beberapa dekade, para intelektual liberal di Cina maupun di Barat, terus-menerus menabuh gendang yang sama, bahwa Maolah satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kematian jutaan orang tersebut. Tuduhan ini didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan Mao terhadap partai dan negara adalah absolut. Asumsi ini sebenarnya sangat lemah. Studi-studi yang dilakukan para sinolog seperti William Hinton, menunjukkan bahwa para elite PKC tidaklah monolitik dan kekuasaan Mao tidaklah absolut. Hinton mengatakan, sejak kemenangan revolusi 1949, elite PKC terbelah menjadi dua faksi, yakni antara mereka yang menganut pendekatakan Politics in Command (PiC) atau penganut jalan sosialis yang berpusat pada figur Mao dan penganut pendekatan Technique in Command (TiC) atau penganut jalan kapitalis dengan tokoh sentralnya Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping. Kedua faksi ini terus-menerus memperebutkan pengaruhnya di kalangan birokrasi partai, negara, dan tentara. Dan dalam beberapa situasi historis tertentu, Mao menemukan posisinya sangat minor di kalangan pimpinan partai.

Dengan mengerti adanya faksionalisasi ini, maka tuduhan bahwa Mao adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kematian massal tersebut adalah sebuah lelucon. Studi yang dilakukan generasi baru intelektual Cina, seperti Cheng Zhidan dengan jelas membantah tuduhan para intelektual kanan tersebut. Ilmuwan politik Dongping Han, yang keluarganya menjadi korban dalam peristiwa tersebut, setelah melakukan riset mendalam di wilayah-wilayah yang paling parah menderita kelaparan menemukan bahwa penduduk usia lanjut di daerah tersebut tidak pernah menyalahkan Mao atas tragedi itu.

Kalau bukan Mao, lalu siapa yang mesti bertanggung jawab? Ceritanya, seiring perubahan kepemimpinan politik di Uni Sovyet pasca kematian Stalin, Mao yang saat itu berusia 63 tahun mulai mengajukan gagasan untuk kepemimpinan baru di PKC pada kongres kedelapan partai yang berlangsung dari tanggal 12-27 September 1956. Kongres dilaksanakan ketika kondisi kesehatan Mao tengah memburuk, dan ia tidak ingin jika kematian menjemputnya terjadi pertarungan kekuasaan di partai, sebagaimana yang terjadi di Uni Sovyet pasca Stalin. Setelah kongres 1956 itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping menjadi figur “garis depan” yang menangani urusan dalam negeri partai sehari-hari. Liu kemudian menempati posisi kedua tertinggi dalam partai dan selanjutnya menjadi pimpinan PKC setelah 1959. Sementara Deng menjadi sekretaris jenderal partai, yang kedudukannya nomor empat setelah Mao, Liu, dan Zhou Enlai. Mao secara bertahap mundur ke “garis kedua” dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengelola masalah hubungan luar negeri dan pertahanan nasional.

Menurut Li, dalam periode Juni hingga Oktober 1958, adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping yang paling bertanggung jawab atas kebijakan Lompatan Jauh ke Depan, komune penduduk, produksi industrial, serta propaganda. Dengan fakta-fakta ini, Zhang Hongzhi secara terang-terangan mengatakan,

“Adalah Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas Lompatan Jauh ke Depan, gerakan komune penduduk, dan gerakan produksi baja besar-besaran; Lebih dari itu, Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, adalah orang yang paling “menentukan” (sekaligus pengawas) dalam propaganda. Pada saat itu, fakta-fakta ini, dari pimpinan tertinggi hingga pejabat terendah partai, semuanya mengerti dan mengetahui hal ini dalam hatinya.”

Kepustakaan:

Dongping Hang, “Farmers, Mao, and Discontent in China From the Great Leap Forward to the Present,” Monthly Review, Desember 2009.

Ellen Meiksins Wood, “Retreat From Class: A New ‘True’ Socialism,” Verso, 1999.

Joseph Ball, “Did Mao Really Kill Millions in the Great Leap Forward?” Monthly Review, September 2006.

Minqi Li, “The Rise of China and the Demise of the Capitalist World Economy,” Monthly Review Press, 2008.

Marta Harnecker, “Understanding the Venezuelan Revolution Hugo Chavez Talks to Marta Harnecker,” Monthly Review Press, 2005.

William Hinton, “Turning Point in China: An Essay on the Cultural Revolution,” Monthly Review Press, 1972.

SUMBER ASLI TULISAN: http://www.facebook.com/notes/pembaca-indoprogress/mao-zedong-dan-korban-75-juta-jiwa/10150145591033084