The British Chevening Awards


The British Chevening Awards

Chevening scholarships 2011/12 and beyond

The Chevening scholarship scheme is currently being reviewed.  A final decision on eligibility requirements, selection criteria, target regions and priority study areas for 2011/2012 is expected by the end of January 2011.

However we have decided to start accepting applications from Indonesian candidates for 2011/2012 Chevening scholarships via this website.

As in previous years we are likely to offer full scholarships for one year Master degrees at United Kingdom universities and other professional institutions.  The scholarships would cover living costs, tuition fees and return airfares.

Candidates should be aware that Chevening 2011/2012 is likely to be more closely aligned with delivery of the FCO’s priorities. More information about these is available here

The Chevening scheme is highly competitive, with only the best applicants invited for interview. We particularly encourage applications from individuals based in eastern Indonesia. Candidates will need to meet the following basic requirements:

-Indonesian citizens.

-Excellent first degree with a minimum GPA >=3.0.

-Good level of spoken and written English language (IELTS 6.5).

-Minimum of 2 years full time post-graduate (S1) work experience.

-Clear commitment to long-term career development.

-Must be able to demonstrate leadership potential and the capacity to play an important role in Indonesia’s future development.

-We regret that we are unable to accept applications for MBAs.

-Previous recipients of a Chevening award are not eligible to apply.

-Employees, employee’s relatives (or former employees who have left employment within the last two years) of the FCO, including FCO posts, the British Council or any Chevening sponsors are not be eligible for these awards.

When the review of the Chevening scheme is finalised further details on eligibility criteria and other information relevant to applications will be posted on this page and this link as well as  the Chevening Facebook page .

What is Chevening?

The Chevening programme, has, over 26 years, provided more than 30,000 Scholarships at Higher Education Institutions (HEIs) in the UK for postgraduate students or researchers from countries across the world.

Many talented graduates and young professional Indonesians have been supported by the Chevening Programme, which has seen over 1,000 Scholarships awarded to Indonesians since the scheme began in 1984.

Largely funded by the Foreign and Commonwealth Office (FCO), the Scholarship scheme also receives significant contributions from HEIs and other organisations in the UK, and from a wide range of overseas sponsors including governmental and private sector bodies, with which the FCO or its overseas Posts have partnership agreements.

The programme is managed by us, on behalf of the FCO, both in the UK and overseas.

FURTHER INFORMATION PLEASE VISIT: http://www.britishcouncil.org/indonesia-common-chevening.htm

JANGAN PANGGIL DIA RADEN AJENG! (ruangbaca.com)


JANGAN PANGGIL DIA RADEN AJENG!

Judul Buku: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman
Rating: ****

Pada 1899, seorang perempuan pribumi menampik dipanggil Raden Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya ia berhak menerima penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tolak. Di sebuah suratnya, perempuan itu menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”

Apa yang menarik dari kutipan di atas? Singkat saja: Kartini (diam-diam) sudah melakukan pemberontakan atas nilai-nilai kebudayaan Jawa yang feodalistik. Tentu saja ini simpulan yang mengagetkan. Bukan apa-apa, masalahnya pemahaman kita terhadap Kartini memang amat terbatas, jika tidak disebut dangkal, atau bahkan reduksionistik: Kartini adalah pelopor emansipasi perempuan. Titik. Simak pula ritus yang diadakan tiap 21 April sebagai selebrasi kelahirannya: lomba masak-memasak atau rias-merias, sedang Ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK mendadak pakai kebaya.

Sedemikian lama pemahaman sempit tentang Kartini itu bertahan. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”. Panggil Aku Kartini Saja adalah biografi yang mencoba menelusuri riwayat Kartini selengkap-lengkapnya, termasuk peran-peran yang selama ini terlampau disempitkan dan disederhanakan, berikut segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia.

****

Pramoedya langsung mengajak pembacanya berpolemik dengan mengatakan “Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.” (hal. 14) Ini jelas menantang. Pram bukannya tidak mengerti betapa posisi Kartini di kalangan Indonesia sendiri masih diperdebatkan. Alih-alih menyebutnya “pahlawan bangsa”, sementara orang malah lebih menganggap Kartini sebagai “orang Belanda” yang dididik dengan cara dan dalam kultur Belanda, yang dikemudian hari juga hanya menulis dalam Belanda, bukan Melayu atau Jawa.

Masalahnya, demikian Pram, Kartini memang tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Melayu atau Jawa (hal. 204). Pelajaran yang diterimanya di Sekolah Rendah memang hanya bahasa Belanda. Tetapi bukan berarti Kartini tak mencoba belajar menulis bahasa Melayu dan Jawa. Dalam surat bertarikh 11 Oktober 1902 untuk karibnya, Stella Zeehandelaar, Kartini sudah berangan-angan: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu.”

Tapi faktanya, Kartini cuma dikenal sebagai pengarang berbahasa Belanda. Hal ini bisa jadi berkait erat dengan pilihan Kartini yang lebih memilih audiens yang berbahasa Belanda. Jadi ini soal pilihan. Lantas, kenapa Kartini lebih memilih pembaca berbahasa Belanda? Pram menjawab: “Kartini memang dengan sadar hendak memberikan arah baru pada kaum intelektual yang pada masa itu berbahasa Belanda. Lagi pula, jika ia menulis bahasa Jawa, toh masih amat sedikit publik Jawa yang bisa baca-tulis.” Ia khawatir yang ia tulis akan sia-sia.

Lantas, bagaimana menjelaskan Kartini sebagai “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”? Pram memberi ancang-ancang: Jangan lupakan kenyataan historis betapa Kartini saat itu hidup dalam taraf kesadaran nasional yang paling awal, yang masih berbentuk embrio serta masih jauh dari kebulatan. Dengan ancang-ancang itu, kita tak keget sewaktu membaca Door duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) kita tak temui kata “kesadaran nasional”, “nasionalisme”, “demokrasi”, “negara”, “bangsa” hingga “kemerdekaan”. Tanpa pemahaman akan latar historis Kartini hidup, kita berarti tak mau tahu akan posisi Kartini.

Dalam gumpalan otak dan hati Kartini, kesadaran nasional itu muncul dalam bentuknya yang “halus dan diam-diam”, tapi bukannya tak disadari. Simak kata-katanya: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.” (hal. 106). Kita tahu, frase “setiakawan” yang disebutnya itu dikemudian hari kembali muncul dalam bentuk yang berbeda, tapi dengan arti yang kurang lebih hampir sama, yaitu “persatuan dan kesatuan”.

Dalam bentuk yang mungkin tak disadarinya, ia juga menjadi pelopor kesetiakawanan yang melintasi batas teritori dan budaya. Ketika Kartini terpaksa menampik beasiswa balajar ke Belanda, ia memohon (merekomendasi) agar beasiswa itu dialihkan saja kepada seorang pemuda Sumatera yang menurutnya amatlah pandai dan berbakat yang sayangnya tidak memiliki kecukupan biaya. Siapa pemuda yang dimaksudkan Kartini? Tak lain adalah Haji Agus Salim. Kartini tidak merekomendasikan salah satu adik perempuannya maupun pemuda Jawa lain yang ia kenal. Dengan demikian, pinjam bahasa Pram, ia sudah terbebas dari jebakan “provinsialisme”.

Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga.

Yang ia lakukan dan katakan karenanya bukanlah pembenaran terhadap penjajahan. Sama sekali tidak. Pram yakin, Kartini “…dengan ketajaman daya observasinya melihat kekuatan-kekuatan yang ada pada penjajah, mengambilnya, dibawanya pulang, untuk memperlengkapi bangsanya dengan kekuatan baru.” (hal. 124) Mungkin lebih tepat dikatakan, Kartini melakukan penguasaan atas realitas dan lantas menggunakannya.

Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya. Karenanya janggal jika pribadi dengan kemampuan dan jasa yang demikian besar hanya dirayakan dan dihormati dengan ritus lomba masak-memasak dan rias-merias.

***

Panggil Aku Kartini Saja bukanlah karya tanpa nila. Dalam beberapa bagian, Pramoedya tampak agak berlebihan dalam melakukan interpretasi. Hanya karena pernah membaca karya penting kaum feminis macam Berthold Maryan-nya Huygens dan Hilda van Suylenberg, Pram berani mendedahkan interpretasi betapa “…Kartini telah sampai pada teori tentang Revolusi Sosialis, yang bertujuan merobohkan nilai-nilai secara total, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru.” (hal. 169) Ketika Kartini mengaku telah membaca De Varlandsche Geschiedenis (Sedjarah TanahAir Belanda), Pram juga dengan berani memberi interpretasi bahwa buku itulah “…yang meresapkan pengertian dalam kalbu Kartini, bahwa kekuatan sesuatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk, …pastilah Kartini mengagumi perjuangan patriotik Willem van Oranje, …dan juga mengagumi perlawanan kesatuan rakyat jelata yang dinamai Watergauzen.” (hal. 145) Interpretasi itu mungkin agak berlebihan, mengingat dalam suratnya, Kartini hanya menyebut betapa menyenangkannya membaca buku itu. Lain tidak.

Dalam historiografi, interpretasi tentu saja bukan barang haram. Bahkan, tak akan ada historiografi tanpa interpretasi. Tetapi, interpretasi hanya dimungkinkan selama sumber-sumber sejarah (baik primer atau sekunder) itu tersedia secara memadai. Di sinilah barangkali pangkal soal terletak. Seperti diakui Pram di pengantarnya, bahan-bahan untuk penelitian ini memang amat terbatas.

Karya ini memang tidak memenuhi target seperti yang dipancangkan penulisnya sendiri yang bermaksud menghadirkan Kartini “bukan sebagai dewa-dewa”. Barangkali, penerbitan dua jilid terakhir naskah Panggil Aku Kartini Saja bisa memenuhi hasrat itu. Sayangnya, kuku bengis nan bar-bar Orde Baru telah menghancurkan dua jilid terakhir buku ini, sehingga cuma dua jilid awal ini saja yang bisa kita nikmati.

Lewat buku ini, Pram ingin mengingatkan betapa kita pernah memiliki Kartini: perempuan yang dikepung berlapis-lapis kerterbatasan dan hambatan, tetapi justru memiliki cita-cita dan potensi yang jauh lebih besar dari yang pernah kita kira sebelumnya.

ZEN RACHMAT SUGITO,
Bekerja di Riset Independen Arsip kenegaraan (RIAK) Jakarta

–zen rachmat

 

SUMBER ASLI TULISAN INI : http://www.ruangbaca.com/resensi/?action=b3Blbg==&linkto=NzY=.&when=MjAwNTEwMjI=

 

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)


Pejuang Kemajuan Wanita

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan. [*]TokohIndonesia/DPT

***
Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan:  E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar

Prestasi:
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang

Kumpulan surat-surat:
– Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Penghormatan:
– Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
– Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar

Sumber:
– Album Pahlawan Bangsa Cetakan ke 18, penerbit PT Mutiara Sumber Widya
– Wajah-Wajah Nasional cetakan pertama. Karangan: Solichin Salam

SUMBER ASLI: http://www.dapunta.com/raden-ajeng-kartini-1879-1904.html

Kumpulan Surat Kartini yang Memberikan Inspirasi (kompas.com)


Penulis: RDI

Sabtu, 18 April 2009 | 18:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Siapa yang tidak mengenal Raden Ajeng Kartini, putri asal Jepara ini dikenal sebagai salah seorang pahlawan wanita di Indonesia. Sumbangsih untuk memajukan kaumnya patut diberi apresiasi setinggi-tingginya. Tak heran jika sampai saat ini kelahiran Kartini masih terus diperingati. Salah satunya adalah dengan mengadakan pemutaran film dokumenter, seperti yang dilakukan Erasmus Huis, Sabtu (18/4).

Film tersebut diberi judul Noem mij maar Kartini. Kartini adalah seorang putri Bupati di daerah Jepara, ia tidak mempunyai nama belakang, atau pun nama tengah. Yang ada hanyalah gelar keluarga di depan namanya. Hidup pada abad ke-19 di Jawa saat pemerintahan Hindia-Belanda bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi bagi kaum perempuan. Banyak aturan tradisional yang harus dipatuhi, perempuan pada zaman itu tidak mempunyai kebebasan.

Hidup mereka terkekang dan terkurung dalam sangkar emas, itulah yang dirasakan Kartini. Sebelum dilarang sepenuhnya untuk keluar rumah, Kartini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Belanda. Namun, itu tidak bertahan lama, ia dan adik perempuannya harus kembali ke ‘sangkar’ mereka. Merasa terkungkung, Kartini berusaha berontak.

Ia menuliskan beberapa artikel mengenai penderitaan yang dialami oleh para wanita di sekelilingnya. Beberapa artikelnya sempat dimuat surat kabar. Untuk membunuh rasa bosannya, Kartini juga sering membaca buku-buku yang berbahasa Belanda. Ia pun rajin menulis surat kepada Stella, sahabat penanya yang berada di Belanda.

Dalam surat yang ditulisnya menggunakan bahasa Belanda, Kartini secara lugas menceritakan keprihatinannya terhadap nasib perempuan-perempuan yang ada disekitarnya. Hak-hak mereka dirampas, dipaksa untuk menikah muda, mereka dilarang untuk bersekolah, dan masih banyak lagi. Kartini mempunyai keinginan untuk membawa kaumnya menuju masa yang lebih baik.

Impian Kartini lainnya adalah, ia ingin bersekolah di Eropa. Sehingga saat sang ayah menyuruhnya untuk menikah, Kartini langsung menolak. Ternyata penolakan tersebut menyebabkan ayahnya sakit keras, dokter yang mengobatinya menyarankan agar Kartini mengikuti kemauan sanga ayah, agar penyakitnya tidak semakin parah. Maka dengan sangat terpaksa Kartini menjadi istri keempat dari Raden Adi Pati Djoyo Adi Ningrat.

Setelah menikah impian Kartini tetap membara, ia terus berusaha untuk mencerdaskan kaum perempuan. Namun sayang, sebelum ia melihat cita-citanya telah terwujud, Kartini meninggal saat melahirkan putra pertamanya.

Masih Relevan

Surat-surat Kartini memang ditulis beberapa ratus tahun yang lalu. Namun sampai saat ini isi dari surat tersebut tetap relevan. Hal itu dikatakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Ia merasa takjub karena beberapa ratus tahun yang lalu, seorang Kartini sudah mempunyai pemikiran untuk memajukan kaum perempuan. “Kumpulan surat itu bukti kalau RA Kartini sudah mempunyai pemikiran yang jauh ke depan, jarang sekali orang yang seperti Kartini pada saat itu,” kata dia.

Meutia juga merasa, kegiatan korespondensi yang dilakukan Kartini patut dicontoh perempuan saat ini, karena tukar-menukar informasi dapat dijadikan suatu cara untuk meningkatkan derajat perempuan.

Apresiasi yang sama juga ditunjukan oleh Nicholas Van Dame, Duta Besar Belanda untuk Indonesia . Menurutnya, memberikan inspirasi bagi masyarakat internasional. Sampai-sampai kumpulan surat Kartini itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

SUMBER ASLI : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/04/18/18333115/Kumpulan.Surat.Kartini.yang.Memberikan.Inspirasi

Liberalisme dan Feminisme


Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?

Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini.

Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).
***
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis.

Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).

Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-laki perempuan, sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.

Sumber Asli Postingan ini : http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=45%3Aliberalisme-dan-feminisme&catid=13%3Atiar-anwar-bachtiar