“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”
– Pramoedya Ananta Toer.
Tulisan ini terinspirasi ketika penulis membaca kembali buku-buku Mas Pramoedya, Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Lentera Dipantera. Membaca kembali karya-karya Mas Pram yang sudah lama ternyata masih sangat relevan dalam situasi saat ini. Apalagi ini menjelang Pilpres…nuansa sebagai bangsa terjajah sangat kental terasa, dan benar kata Mas Pram, inilah negeri budak, budak di antara dan bagi bangsa-banga lain. Ternyata memang kenyataannya, penjajalahn selama hampir tiga abad tersebut belum memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini untuk lebih menaikkan status sosialnya di mata bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Membayangkan ketika menelusuri Jalan Raya di Pulau Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Daendels, terbayang sebuah penderitaan yang mengerikan pernah dialami bangsa ini. Sebuah Genosida! Begitu Mas Pram, memberikan sebuah penggambaran. Dan dalam sejarahnya bangsa ini, genosida itu ternyata tidak hanya pada waktu pembangunan jalan tersebut (yang sekarang sangat dinikmati oleh anak bangsa ini) telah memakan sebanyak 12.000 jiwa dalam pembangunannya. Pembangunan dari Anyer sampai Penarukan yang berjarak 1000 Kilometer, merup[akan satu dari sekian kisah tragedi terbesar dalam sejarah yang terjadi di tanah Hindia. Mas Pram, mengatakan kita bangsa kaya, tapi lemah.
Marilah kita tengok sedikit dalam buku tersebut, dimana saja terjadi Genosida di Indonesia. Mas Pram mencatat, bahwa pembunuhan pertama kali terjadi di Bandanaira (Pulau Banda), 1621, dilakukan Belanda, pada zaman Jan Pietersz Coen. Jumlah Korban tidak pernah disebutkan dengan pasti, dalam kesaksian itu, hampir semua penduduk dikatakan meninggal dan sebagian kecil memilih untuk melarikan diri dari kerja paksa tersebut. Akibatnya Belanda, harus mendatangkan Budak-budak dari daerah dan negara lain. Sungguh bisa dibayangkan, genosida yang terjadi tidak hanya berupa pelenyapan suku dan ras, akan tetapi telah terjadi pelenyapan budaya masyarakat Banda. Genosida yang terjadi dalam sejarah perjalanan anak bangsa ke-2 terjadi setelah Perang Jawa, periode 1825-1830, dengan arsiteknya Jenderal Van den Bosch, berupa kerja tanam paksa atau istilah kerennya cultursteelsel! tidak diketahui jumlah pastinya. Jepang dengan tragedi Kalimantan Baratnya, berapa jumlahnya? tidak tahu pasti! Genosida lainnya, Masih ingat tragedi yang digambarkan paling kejam dalam buku pelajaran sejarah (zaman saya dulu ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa/PSPB) yaitu zamannya Westerling di Sulewesi Selatan, menurut mantan Diplomat RI, Manai Sophian (ini bapaknya almarhum Sophan Sophian), tercatat 40.ooo orang meninggal, tapi Belanda mengklaim hanya 5000 orang yang meninggal. Lagi-lagi dengan jumlah angka yang tidak pasti. Selanjutnya yang paling parah terjadi justru Genosida yang terjadi atara anak bangsa. Tgadei 65, samnpai saat ini berapa jumlah korbanya juga belum diketahui pasti, ada yang menyebut angka 500.000, 1.000.000 dan bahkan 2.000.000-2.550.000. Jika ini benar maka ini merupakan pembantain yang paling besar dalam sejarah umat manusia. Pembataian ini lebih tinggi dari apa yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah di Kamboja pada tahun 1970-an dan banyak intelektual terbunuh. Begitu juga pada tragedi 65, banyak sekali intelektual yang terbunuh. Jumlah pasrtinya? sampai saat ini pun tidak jelas. Sungguh bangsa yang gampang melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Marilah sedikit menegok makna genosida yang kelihatannya angker, dan apakah tepat untuk tulisan ini. Dari Wikipedia (www.id.wikipedia.org), penulis menemukan istilah Genosida (genosid), yaitu sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di USA. Kata ini diambil dari Bahasa Yunani γένος genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’). Dalam sejarahnya tercatat belasan genosida terjadi di dunia, ini, mulai dari pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama sebelum Masehi, pembantaian bangsa Helvetia oleh Julius Caesar pada abad ke-1 sebelum masehi, pembantaian suku bangsa Keltik oleh bangsa Anglo-Saxon di Britania dan Irlandia sejak abad ke-7, pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak tahun 1492, pembantaian bangsa Aborijin Australia oleh Britania Raya semenjak tahun 1788, pembantaian Bangsa Armenia oleh beberapa kelompok Turki pada akhir Perang Dunia I, pembantaian Orang Yahudi, orang Gipsi (Sinti dan Roma) dan suku bangsa Slavia oleh kaum Nazi (dibawah Hittler) Jerman pada Perang Dunia II, pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur garis Perbatasan Oder-Neisse, pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim Khmer Merah pada akhir tahun 1970-an, pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim Saddam Hussien Irak pada tahun 1980-an, Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya, pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Rwanda (yang secara menarik digambarkan dalam Film “Hotel Rwanda”, yang diarahkan oleh Terry George dan diproduksi tahun 2004, berdasarkan sudut pandang seorang petugas di hotel, Paul Rusesbagina yang menyaksikan genosida tersebut) pada tahun 1994 oleh terutama kaum Hutu, pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia oleh Serbia antara 1991-1996, pembantaian Srebrenica, kasus pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suatu suatu keputusan hukum, dan pembantaian kaum berkulit hitam di Darfur oleh milisi Janjaweed di Sudan pada tahun 2004. Menarik, kenapa tragedi genosida yang terjadi di Indonesia dari masa kolonial sampai kontemporer tidak pernah disebutkan?
Hanya karena jumlah korban yang gak jelas dan ketidakseriusan pemerintah mengungkapkan fakta kah yang menjadi kendala utamanya? Memang benar, bahwa jumlah korban dalam peroistiwa “genosida” yang terjadi di Indonesia, pembantaian 65, yaitu eksponen partai komunis Indonesia, yang dilakukan oleh bangsa sendiri sampai saat ini belum menunjukkan angka yang pasti. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang lebih menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Studi yang dilakukan oleh Geoffrey Robinson, yang ditulisnya dalam sebuah buku Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2006) dan Robert Cribb (ed) dalam bukunya The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 (Yogyakarta: Mata Bangsa dan Syarikat Indonesia 2003) tidak bisa memberikan data pasti berapa jumlah korbannya.
Penulis menjadi tertegun, apakah memang benar bangsa ini ramah dan menghargai sejarahnya? Penulis menyadari bahwa fondasi nasionalisme bangsa ini dibangun memang dari suatu ketiadaan dan kekosongan atas nama nasionalisme yang akhirnya menjadi suatu bentuk identitas nasional bangsa ini. Walaupun sesungguhnya memang bangsa ini dibangun atas dasar konsepsi imagine societies seperti apa yang dikemukakan oleh Bennedict R’OG Anderson (Professor Emiritus, South East Asia, Cornell University, USA) tapi apakah benar bahwa bangsa ini sungguh rapuh dan lemah seperti yang diuangkapkan oleh Pramoedya? Kalau kita lihat, dalam fondasi sejarahnya, mulai dari zaman pra sejarah, kerajaan, kolonialisme dan kemerdekaan, bangunan bangsa ini dilandasi dengan sifat kekerasan dan haus akan kekuasaan. Berbagai tragedi perjalanan anak bangsa menunjukkan keramahan bangsa ini hanya ada dalam tatatarn figurasi panggung. Studi representasi sosial menunjukkan bahwa bangsa ini memang dibangun atas pengkarakteran kekuasaan dalam pentas politik budayanya.
Dalam sejarahnya bangsa ini adalah bangsa yang cepat bertindak dan cepat pula melupakan sebuah peristiwa, bagi bangsa ini apa yang terjadi saat ini hanyalah semata-mata kesalahan sejarah. Bangsa ini tidak pernah belajar untuk berusaha mengetahui sebuah kebenaran. Ketika bangsa ini berdiri dalam sebuah konstruksi sosial politik penguasa, maka sudah jelas sebuah kebenaran apapun dalam sejarah yang berusaha untuk ditampilkan penguasa akan diterima begitu saja. Tentu saja tanpa syarat! Ini sungguh menarik bagaimana kekuatan sosial politik Indonesia di desain untuk melupakan setiap tragedi genosida dalam bangsa ini mulai dari kolonialisme sampai 65. Hanya saja, hak asasi manusia yang terlanggar tidak pernah dibuka tuntas. Ambillah contoh yang paling mendasar adalah pembuatan jalan 1000 kilometer dari Anyer sampai Penarukan, bagaimana reaksi pemerintah Belanda terhadap persitiwa ini, hanya studi kecil yang dilakukan dan hasilnya pun angka bulat yaitu 5000! ini menunjukkan bahwa tidak ada suatu upaya seriusn untuk melihat dengan jernih persoalan ini. Bangsa ini juga tidak memiliki keberanian untuk membentuk tim pencari fakta untuk mengungkapkan kejadian-kejadian itu. Semua komisi-komisi yang dibentuk mulai zaman Soekarno sampai sekarang mandul! Dan anak bangsa tetap ada dalam situasi kebingungan dan ketidaktahuan akan informasi sesungguhnya yang terjadi pada anak bangsa.
Apa yang bisa diharapkan dari sebuah tulisan singkat ini, penulis hanya menginginkan setidaknya mulailah sejarah di dudukkan kepada porsinya. Setiap upaya mempertanyakan sejarah, janganlah dimaknai sebagai sebuah usaha untuk membangkit ideologi tertentu utamanya KLM (komunisme, Leninisme dan Marxisme) tanpa memahami betul apa sebenarnya iti dari ideologi-ideologi tersebut. Pemaham sejarah bangsa ini harus ditujukan untuk perbaikan bagi kemanusiaan bagi generasi penerus, agar kesalahan pelaku sejarah tidak diulangi lagi. Semangat membuka wacana ini bukanlah membuka luka lama atas sekelompok orang di negara tercinta ini, akan tetapi lebih berusaha untuk mendudukkan persoalan dalam kerangka mindset pemikiran untuk mengakhiri sikap saling curiga antara anak bangsa. Penilaian sejarah seharusnya tidak diletakkan kembali pada apa yang benar atau yang salah, atau nilai mana yang benar dan salah, akan tetapi haruslah dilihat bahwa sejarah merupakan suatu yang historis (berlangsung dalam suatu periode tertentu) dan harus dilihat dari perspektif yang utuh pula. Dengan harapan, bangsa yang dikenal sebagai “budak” ini mulai berani membongkar relasi kuasa yang tercipta dari sebuah budaya politik dan hegemoni yang dilakukan negara untuk membungkan rakyatnya. Dengan keterbukaan, kejujuran dan kesadaran atas apa yang terjadi setidaknya bangsa ini lebih menghargai konteks artinya sebuah “perjuangan”. Pedih, marah, malu adalah rasa yang wajar dimiliki oleh setiap orang. Akan tetapi melupakan sebuah kekerasan yang terjadi adalah sebuah perbuatan yang juga menyedihkan. Ruang ini penting dilakukan untuk membuka tabir sejarah yang ingin dilupakan atau sengaja dilupakan oleh bangsa ini…
terimaskih mas Pram untuk pelajaran ini..
SUMBER ASLI TULISAN INI : http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/06/14/genosida-di-indonesia/